Lebaran adalah momen penuh kebersamaan dan suka cita bagi umat Muslim di seluruh dunia. Namun, bagaimana rasanya jika momen istimewa ini dirayakan jauh dari tanah air, di negara dengan komunitas Muslim yang minoritas?
Mirza Nuryady, S.Si, M.Sc, dosen Program Studi Pendidikan Biologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) yang sedang menempuh program doktoral di Austria, berbagi kisahnya merayakan Idulfitri di Benua Biru.
Mirza saat ini aktif menjalani kegiatan akademik di Institute of Parasitology, Veterinary Medicine University, Vienna. Selain itu, ia juga dipercaya sebagai Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Austria.
Tak hanya fokus pada studinya, Mirza juga kerap berbagi pengalaman melalui vlog yang mendokumentasikan perjalanan Ramadan hingga perayaan Lebaran di Eropa.
“Tantangan utama yang saya hadapi adalah menjadi bagian dari komunitas minoritas, terutama dalam menjalankan ibadah dan menjaga tradisi keislaman di lingkungan yang berbeda,” katanya.
Bagi Mirza, Ramadan di Austria menjadi pengalaman spiritual yang unik. Ia merasa bersyukur karena bertemu dengan komunitas Muslim Indonesia yang aktif menyelenggarakan berbagai kegiatan keagamaan di Masjid As-Salam, Vienna.
“Masjid ini didirikan oleh diaspora Indonesia yang telah menetap di Austria selama 30-40 tahun. Setiap Selasa dan Jumat, komunitas Muslim Indonesia di Vienna mengadakan buka puasa bersama, menyajikan hidangan khas Nusantara seperti opor dan semur ayam,” ungkap dia.
“Alhamdulillah, saya berkesempatan menjalani puasa Ramadan dengan durasi sekitar 14 jam setiap harinya. Durasi ini jauh lebih ringan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai 18-20 jam saat musim panas,” imbuh Mirza.
Dia lalu mengungkapkan bahwa Ramadan kali ini bertepatan dengan musim dingin, sehingga durasi puasanya menjadi lebih pendek dibandingkan saat musim panas.
Ketetapan hasil ijtihad Komunitas Muslim Austria menetapkan bahwa Idul Fitri 1446 H jatuh pada hari Minggu, 30 Maret 2025. Mirza merayakan Lebaran dengan suasana hangat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Vienna.
“Setiap tahun, diaspora Indonesia dari berbagai kota di Austria berkumpul di KBRI untuk menunaikan salat Idulfitri bersama,” kata dia.
Tahun ini terasa lebih istimewa, karena Lebaran bertepatan dengan hari Minggu, yang merupakan hari libur nasional di Austria.
Uniknya, sebut Mirza, hari tersebut juga dikenal sebagai “hari tenang”, di mana warga diimbau untuk mengurangi aktivitas di luar dan tidak menimbulkan kebisingan.
Di Austria dan banyak negara Eropa lainnya, aturan mengenai kebisingan cukup ketat, termasuk dalam hal ibadah. Azan dan takbiran tidak diperbolehkan menggunakan pengeras suara yang terdengar ke luar masjid. Hal ini merupakan bentuk penghormatan terhadap norma lokal yang berlaku di sana.
“Sebagaimana pepatah mengatakan, ‘Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Ini adalah bentuk toleransi yang harus kita hormati sebagai pendatang,” ujar Mirza.
Meski mendapatkan pengalaman Lebaran yang unik di Eropa, Mirza mengaku ada banyak hal dari Ramadan dan Idul Fitri di Indonesia yang ia rindukan. Salah satunya adalah lantunan azan dan tadarus Al-Qur’an yang menggema dari surau-surau di kampung halaman. Kehangatan berkumpul bersama keluarga juga menjadi hal yang sangat dirindukan.
Selain itu, kuliner khas Indonesia seperti sate Madura, tahu telur, dan gado-gado sulit ditemukan di Austria. Meskipun terdapat beberapa restoran Asia, namun cita rasanya tetap tidak bisa menggantikan kelezatan masakan tanah air.
“Makanan Indonesia memang tidak tergantikan. Walaupun ada restoran Asia, rasanya tetap beda dengan yang asli,” ujarnya.
Namun demikian, Mirza tetap bersyukur atas kesempatan merasakan Ramadan dan Lebaran di Eropa. “Saya rasa, indah sekali hidup dalam toleransi dan saling menghargai. Senang sekali rasanya bisa merayakan hari kemenangan bersama komunitas Muslim di sini. Semoga Allah SWT mempertemukan kita kembali dengan Ramadan di tahun berikutnya, Aamiin,” ungkapnya.
Perjalanan Mirza di Austria bukan sekadar tentang akademik, tetapi juga tentang bagaimana ia menghadapi tantangan sebagai Muslim di negeri orang.
Keberadaannya di Vienna membawanya pada pengalaman berharga tentang makna keberagaman, toleransi, dan kebersamaan di tengah komunitas Muslim diaspora.
Ramadan dan Idul Fitri di perantauan memang tidak selalu mudah, tetapi bagi Mirza, setiap momen yang ia jalani memberikan pelajaran hidup yang berharga. (wh)