Level Puasa Anak-anak Pesisir

Level Puasa Anak-anak Pesisir

*)Oleh: Ali Efendi, M.Pd
Kepala SMPM 14 Ponpes Karangasem Paciran & Pengurus Wilayah IGI Jatim

 

Ramadan merupakan bulan suci yang ditunggu-tunggu umat Islam di seluruh penjuru dunia, kehadirannya senantiasa disambut dengan gembira dan suka cita. Karena di dalam bulan Ramadan terdapat perintah wajib menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh sebagaimana dalam Alqur’an QS. Al Baqarah: 183.

Pada bulan Ramadan terdapat banyak keistimewaan, di antaranya bulan penuh rahmat, barakah, ampunan, seluruh amalan baik akan dilipatgandakan, dan setan-setan dibelenggu. Selain itu, terdapat peristiwa Nuzulul Qur’an atau Alqur’an diturunkan dan peristiwa Lailatul Qodar malam yang ditunggu-tunggu umat Islam.

Semarak menyambut bulan Ramadan tidak hanya berlaku bagi umat Islam berusia dewasa (baligh), tetapi anak-anak juga tidak ketinggalan turut serta meramaikan syiar Ramadan. Walaupun secara syariat, anak-anak belum berkewajiban menjalankan ibadah puasa tetapi di Indonesia anak-anak berpuasa telah menjadi tradisi.

Tradisi anak-anak berpuasa di Indonesia menurut perspektif pendidikan merupakan sarana untuk belajar dan latihan menahan lapar dan dahaga, serta menanamkan rasa kepedulian sosial. Termasuk anak-anak pesisir di Lamongan dalam perpartisipasi mensyiarkan Ramadan menjadi kajian yang unik dan menarik.

Potret kebiasaan anak-anak menjalankan puasa telah tertanam dengan baik sejak dahulu sebagaimana terlihat di komunitas pesisir pantai utara (pantura) Lamongan, Jawa Timur, tepatnya di Desa Paciran. Setiap saat Ramadan tiba, anak-anak usia sekolah dasar menyambut kedatangannya dengan riang gembira.

Anak-anak pesisir menjalankan puasa sesuai dengan keinginannya sendiri atau tanpa diperintah orangtunya. Mereka turut serta dalam memeriahkan kegiatan Ramadan secara istikamah selama sebulan. Dengan menenteng buku jurnal kegiatan tugas dari sekolah atau madrasah, setiap kegiatan yang diselenggarakan masjid dan musalla diikuti dengan penuh semangat bersama orangtua atau dengan teman-temannya.

Berdasarkan tradisi pesisir di Lamongan, cara anak-anak berpuasa terbagi menjadi dua level, yaitu; poso bedhug dan poso maghrib.

Pertama, poso bedhug (puasa dhuhur). Tradisi puasa yang dijalankan anak-anak usia Sekolah Dasar (SD/MI) kelas I – II atau anak usia 7 – 8 tahun. Biasanya anak-anak menjalankan puasa sampai waktu dhuhur, ketika mendengar suara azan dhuhur anak-anak sudah dibolehkan untuk membatalkan puasa.

Istilah bedhug mengacu pada tradisi di Jawa, saat masuk waktu dhuhur biasanya bedhug yang berada di masjid atau musalla ditabuh berulang-ulang sebelum melakukan adzan dhuhur. Maka di kalangan masyarakat Jawa berkembang ungkapan “wes bedhug” (sudah dhuhur). Maknanya sudah masuk waktu dhuhur dan anak-anak disilahkan oleh orangtuanya untuk berbuka.

Kedua, puasa maghrib (puasa maghrib). Tradisi puasa yang dijalankan anak-anak usia Sekolah Dasar (SD/MI) kelas III – VI atau anak usia 9 – 12 tahun. Mayoritas anak-anak menjalankan puasa sampai waktu maghrib selama sebulan penuh sebagaimana orang dewasa atau orangtuanya menjalankan puasa.

Walaupun menjalankan puasa seperti orang dewasa, tetapi kebiasaan dan perilakunya selama berpuasa masih terlihat sifat aslinya kekanak-kanakan. Biasanya anak-anak minta kepada orangtuanya untuk dibelikan beragam makanan dan minuman yang dilihat sepanjang hari untuk persiapan berbuka.

Bagi anak-anak pria biasanya turut ke masjid atau musalla salat jamaah ashar dan mendengarkan pengajian bakda ashar, selesai pengajian biasanya mendapatkan nasi bungkus gratis dan dibawa pulang.

Dalam menjalankan puasa bedhug dan puasa maghrib, anak-anak juga melakukan ibadah sunnah seperti orang dewasa. Mereka ikut serta makan sahur, buka bersama, menjalankan salat tarawih dan witir, serta tadarus Alquran.

Bahkan anak-anak lebih konsisten dalam menjalankan amalan sunnah, jika dibandingkan dengan orang-orang dewasa. Tradisi berpuasa bagi anak-anak di pesisir Lamongan menjadi bagian pendidikan yang masih terjaga dengan baik sampai sekarang dan bahkan seluruh kegiatan tercatat dalam buku agenda.

Ramadan merupakan momentum yang tepat untuk membangun kesadaran anak-anak belajar bertanggungjawab kepada Allah. Selain itu, anak-anak dididik bertanggungjawab kepada dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya. Hal ini senada dengan sebutan Ramadan sebagai syahrut tarbiyah atau bulan pendidikan. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *