Oleh: Syahrul Ramadan, S.H., M.Kn, C.LQ
Sekretaris LBH AP PD MUHAMMADIYAH LUMAJANG
Ketupat bukan sekadar makanan khas yang hadir di momen Lebaran. Di balik bentuknya yang unik dan rasa gurihnya, tersimpan filosofi mendalam tentang kehidupan, spiritualitas, dan nilai-nilai Islami. Warisan budaya ini, terlebih dalam masyarakat Jawa dan Nusantara, merepresentasikan simbol tobat, kebersamaan, serta kesadaran akan dosa dan ampunan.
Dalam renungan ini, kita akan menggali lima makna mendalam ketupat: janur, anyaman ketupat, laku papat, isi beras, dan ngaku lepat serta mengaitkannya dengan Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW.
- Janur : Jalan Nur (Cahaya Ilahi)
Janur atau daun kelapa muda, dalam tradisi Jawa dimaknai sebagai “ja-nur”, akronim dari “jalan nur” atau jalan cahaya. Ini merupakan simbol hidayah dari Allah SWT. Manusia dalam hidupnya senantiasa butuh petunjuk untuk berjalan di atas jalan yang lurus.
Allah SWT berfirman:
“Allah adalah cahaya langit dan bumi…”
(QS. An-Nur)
Cahaya di sini bukan sekadar sinar, namun petunjuk yang mengarahkan manusia menuju kebenaran. Janur yang masih muda melambangkan hati yang bersih dan siap menerima cahaya Ilahi. Ketika seseorang membuka hati terhadap hidayah, ia berada di jalan yang lurus menuju Allah.
- Anyaman Ketupat: Simbol Kehidupan yang Terjalin
Anyaman ketupat tidak sembarangan. Ia dibuat dari janur yang saling mengikat membentuk kotak rapat. Ini menjadi simbol hubungan antar manusia yang saling terhubung, saling bergantung, dan tidak bisa berdiri sendiri. Hidup manusia harus dijalin dengan nilai ukhuwah, silaturrahmi, dan gotong royong.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain seperti bangunan yang saling menguatkan…”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hari raya, ketupat menjadi simbol rekonsiliasi. Orang saling bermaafan, menyambung silaturahmi, memperbaiki anyaman hubungan yang mungkin sempat rusak selama Ramadan dan sebelumnya. Ketupat mengajarkan bahwa harmoni sosial hanya terjalin dengan kebersamaan dan saling memahami.
- Laku Papat: Empat Laku Spiritual
Laku papat adalah empat tahapan yang harus dilalui seorang hamba dalam menempuh jalan taqwa: lebaran, luberan, lebaran, dan laburan.
Lebaran: kembali fitrah (suci)
Luberan: melimpahkan rezeki, berbagi
Lebaran (dalam makna bebas): pintu terbuka untuk maaf
Laburan: memutihkan hati, seperti kapur putih yang membersihkan noda.
Nabi bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Empat laku ini bukan hanya simbol Lebaran, tapi representasi perjalanan ruhani: dari pembersihan diri (puasa), kemudian berbagi (zakat dan sedekah), membuka diri untuk memaafkan, dan mengakhiri dengan hati yang kembali suci.
- Isi Beras: Simbol Nafkah dan Niat
Beras adalah simbol kemurnian, keberkahan, dan niat baik. Beras di dalam ketupat melambangkan isi hati manusia: apakah ia penuh dengan kebaikan atau justru diselimuti hawa nafsu.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Ma’idah)
Isi hati kita bagaikan isi ketupat. Bisa padat dengan amal baik atau kosong oleh keburukan. Beras juga simbol nafkah halal dan berkah yang kita perjuangkan. Maka saat menyajikan ketupat, kita diajak merenung: sudahkah isi hidup kita berkualitas, halal dan berkah di hadapan Allah?
- Ngaku Lepat : Mengakui Dosa Kesalahan, Memohon Ampunan
Ngaku lepat berarti mengakui kesalahan. Ketupat dalam budaya Jawa diberikan saat seseorang meminta maaf. Ia menjadi simbol kerendahan hati seorang hamba kepada Allah dan sesama.
Nabi bersabda:
“Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan. Dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.”
(HR. Tirmidzi)
Mengakui salah bukan kelemahan, melainkan kemuliaan. Ramadan mengajarkan kita menundukkan ego dan Lebaran mengajarkan kita keberanian untuk meminta maaf.
Ketupat bukan hanya kuliner khas, tapi sarat pesan spiritual. Dari janur hingga isi beras, dari anyaman hingga makna laku papat dan ngaku lepat, semuanya mengajarkan kita tentang kehidupan Islami: hidayah, ukhuwah, keikhlasan, kesucian hati, dan keberanian bertaubat.
Semoga kita tidak hanya menyantap ketupat secara fisik, tapi juga mampu menghayati maknanya secara ruhani, menjadikannya bagian dari perjalanan kita menuju ridha Allah SWT.
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams)
Allahu a’lam. (*)