Bulan Syawal selalu membawa semangat baru bagi umat Islam. Setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa Ramadan, banyak yang menyambut kesempatan untuk menambah pahala dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal.
Namun, di tengah antusiasme ini, muncul pertanyaan yang kerap mengusik: jika seseorang masih memiliki utang puasa Ramadan, mana yang harus didahulukan—menyelesaikan qadha atau mengejar keutamaan puasa Syawal?
Puasa Syawal bukanlah ibadah sembarangan. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Ayyub Al-Anshari, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa berpuasa Ramadan lalu mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka itu seperti berpuasa sepanjang masa.” (HR. Muslim, Tirmidzi, dan Ahmad)
Hadis lain memperkuat keutamaan ini:
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ، مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idulfitri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun, sebagaimana barangsiapa berbuat kebaikan akan mendapat sepuluh kali lipat pahalanya.” (HR. Ibnu Majah)
Lalu, bagaimana jika seseorang masih terbebani utang puasa Ramadan? Misalnya, seorang muslimah yang tidak berpuasa karena haid, atau ibu hamil dan menyusui yang mengganti puasanya di lain waktu. Dalam kasus ini, dilema menjadi nyata: apakah puasa Syawal tetap bisa didahulukan?
Menurut Imron Rosyadi, tokoh Muhammadiyah yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), seperti dilansir di laman resmi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pada Rabu (9/4/2025), ada dua pandangan utama dalam fikih yang bisa menjadi pegangan:
Pertama, puasa qadha wajib didahulukan karena statusnya sebagai kewajiban syariat. Ia menegaskan, “Puasa qadha adalah utang kepada Allah yang harus diselesaikan. Jika ingin meraih pahala puasa Syawal secara utuh, idealnya qadha diselesaikan terlebih dahulu.”
Kedua, ada kelonggaran untuk mendahulukan puasa Syawal karena waktu pelaksanaannya yang terbatas hanya di bulan Syawal, sedangkan qadha bisa dilakukan sepanjang tahun.
Konsep ini merujuk pada istilah fikih muwassa’ (longgar waktunya) dan mudhayyaq (terikat waktu tertentu).
“Inilah alasan sebagian ulama membolehkan puasa Syawal didahulukan, terutama jika waktu di bulan Syawal terasa singkat,” tambah Imron.
Imron pun menawarkan solusi bijak. Kata dia, lihatlah kemampuan diri. Jika utang puasa terlalu banyak dan dikhawatirkan kehilangan kesempatan puasa Syawal, boleh mendahulukannya.
“Namun, jika hati lebih tenang dengan melunasi kewajiban terlebih dahulu, prioritaskan qadha,” tegasnya
Pada hakikatnya, Islam adalah agama yang penuh kemudahan. Keputusan untuk mendahulukan qadha atau puasa Syawal bergantung pada niat dan kondisi individu. Yang terpenting, keduanya tetap diupayakan dengan penuh keikhlasan. (*/wh)