Mobil untuk Usaha atau Pribadi? Begini Aturan Zakatnya

Mobil untuk Usaha atau Pribadi? Begini Aturan Zakatnya
*) Oleh : Dr. Ajang Kusmana

Pertanyaan mengenai kewajiban zakat atas benda tetap seperti mobil seringkali muncul di kalangan masyarakat. Dalam hal ini, yang menjadi penentu kewajiban zakat bukanlah sifat bendanya, apakah itu benda bergerak atau tetap, melainkan bagaimana status atau fungsi dari benda tersebut dalam kehidupan pemiliknya.

Jika benda-benda tersebut berstatus sebagai harta perdagangan, maka benda itu menjadi objek zakat. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki mobil yang digunakan untuk berdagang, maka mobil tersebut merupakan aset yang wajib dizakati. Zakat dikenakan karena mobil tersebut dianggap sebagai bagian dari modal usaha.

Di sisi lain, apabila mobil digunakan sebagai sumber pendapatan, misalnya mobil yang dijadikan taksi atau kendaraan sewa lainnya, maka hasil dari pemanfaatan mobil tersebut juga harus dizakati.

Setelah mencapai satu tahun, zakat yang dikenakan sebesar 2,5% dari pendapatan atau hasil yang diperoleh dari mobil tersebut. Menurut buku Al-Amwal fil Islam, zakat dihitung dari pendapatan akhir tahun, dan tidak perlu mengulangi zakat atas inventaris yang telah dizakati sebelumnya.

Namun, untuk mobil yang digunakan sebagai alat transportasi pribadi, seperti untuk keperluan sehari-hari, bekerja, atau bersilaturahmi, tidak ada kewajiban zakat. Sama halnya dengan rumah tempat tinggal yang dihuni, benda-benda ini bukan termasuk harta yang wajib dizakati karena fungsinya sebagai alat penunjang kehidupan, bukan sebagai aset usaha atau perdagangan.

Dengan demikian, penentuan zakat atas benda tetap seperti mobil atau tanah sangat bergantung pada fungsi dan penggunaannya.

Apakah kendaraan operasional wajib dizakati?

Tidak semua yang dalam sebuah perusahaan, wajib dizakati. Batasan harta dagangan yang wajib dizakati, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Mausuah al-Fiqhiyah dinyatakan syarat wajib zakat, di antaranya:

الشَّرْطُ الرَّابِعُ: الزِّيَادَةُ عَلَى الْحَاجَاتِ الأَصْلِيَّةِ… وَبِنَاءً عَلَيْهِ قَالُوا: لاَ زَكَاةَ فِي كُتُبِ الْعِلْمِ الْمُقْتَنَاةِ لأِهْلِهَا وَغَيْرِ أَهْلِهَا وَلَوْ كَانَتْ تُسَاوِي نُصُبًا، وَكَذَا دَارُ السُّكْنَى وَأَثَاثُ الْمَنْزِل وَدَوَابُّ الرُّكُوبِ وَنَحْوُ ذَلِكَ

Syarat keempat, harta itu di luar kebutuhan pokok. Berdasarkan hal ini, para ulama mengatakan, ‘Tidak ada zakat untuk kitab referensi yang digunakan oleh pemiliknya atau bukan pemiliiknya, meskipun nilainya melebihi satu nishab. Demikian pula, tidak ada zakat untuk rumah yang ditinggali, perabot rumah, hewan tunggangan, dan semacamnya.’ (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 23:242)

Dalam perusahaan, kita mengenal ada aset dan ada omzet. Bagian yang merupakan aset perusahaan, seperti gedung, perlengkapan kantor, peralatan produksi, kendaraan, dan semua aktiva yang tidak diperdagangkan, tidak masuk perhitungan zakat.

Dengan demikian, penghitungan nishob pada zakat perusahaan adalah dari omset (modal, produk yang dijual beserta keuntungannya).

Kami tegaskan ulang, bukan hanya keuntungan saja yang diperhitungkan zakatnya, tapi mencakup semua komoditas yang diperdagangkan. Karena sejatinya laba hanyalah tambahan dan turunan dari modal. Untuk itu, laba harus mengikuti modal sebagai induknya dalam penghitungan nishob dan haul. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *