Pengagungan Tuhan: Mengembalikan Kesadaran Asal-usul Manusia

Pengagungan Tuhan: Mengembalikan Kesadaran Asal-usul Manusia
*) Oleh : Dr. Slamet Muliono Redjosari

Hilangnya memori awal mula kejadian dirinya, membuat manusia lupa diri sehingga mendorong terjadinya kerusakan di alam semesta.

Kerusakan yang semakin massif karena lupa bahwa bahwa dirinya diciptakan Tuhan. Tuhan menugaskan dirinya sebagai pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.

Ketika memori awal penciptaan dan tugas mensejahterakan penghuni alam semesta senantiasa melekat, maka manusia akan senantiasa melakukan perbaikan.

Namun yang umum terjadi, manusia ingat asal muasalnya dan tidak mengakui eksistensi sang Pencipta sehingga bebas melakukan apa saja termasuk melakukan pembangkangan.

Bani Israil merupakan contoh komunitas yang banyak lakukan pembangkangan terhadap perintah Tuhan sehingga terjadi kerusakan dan merajalela kemaksiatan.

Asal Muasal Manusia

Sebagai utusan di dunia, nabi mengingatkan asal muasal manusia dan tugasnya mengabdi dengan mengagungkan Penciptanya.

Ketika manusia mengenal asal usul dan siapa pencipta dirinya, maka mereka akan melakukan berbagai perbuatan mulia.

Asal muasal manusia berawal dari ketiadaan, kemudian dihidupkan untuk berbuat kebaikan. Setelah itu mengalami kematian, dan dihidupkan kembali untuk dimintai pertanggungjawaban.

Penekanan pada memori asal mula penciptaan diri dengan tujuan untuk menjadi pemimpin dengan memproduksi karya besar yang bermanfaat bagi masyarakatnya.

Perintah untuk berbuat baik dalam kenyataannya tidak terwujud, dan bahkan justru lahir perbuatan yang kontraproduktif. Allah pun mencatat seluruh perbuatan manusia guna dimintai pertanggung jawaban setelah kematiannya.

Permintaan tanggung jawab itu dilakukan ketika manusia dihidupkan kembali setelah kematiannya. Pengembalian kepada Sang Khaliq ini merupakan tujuan akhir manusia untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya guna mendapatkan balasan atas kinerjanya di dunia.

Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :

كَيۡفَ تَكۡفُرُونَ بِٱللَّهِ وَكُنتُمۡ أَمۡوَٰتٗا فَأَحۡيَٰكُمۡ ۖ ثُمَّ يُمِيتُكُمۡ ثُمَّ يُحۡيِيكُمۡ ثُمَّ إِلَيۡهِ تُرۡجَعُونَ

“Mengapa kamu kafir kepada Allah ? Padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah :28)

Penegasan hakekat asal muasalnya, tidak lain untuk menegaskan bahwa manusia harus berbuat mulia. Utang budi kepada Tuhan yang telah memberikan karunia besar ini seringkali direspons dengan perbuatan menyimpang.

Alih-alih berbuat mulia, manusia justru berbuat maksiat dengan melupakan hakekat dirinya hingga lupa terhadap Tuhannya.

Ketika lupa diri, manusia lupa terhadap amanah yang diembannya. Mereka justru berbuat culas dan hilang kejujurannya, hingga lahir berbagai kedzaliman sehingga lahir ketimpangan sosial dan kesengsaraan masyarakat.

Jalan Menyimpang Bani Israil

Allah memberi contoh kaum yang lupa terhadap asal muasal hingga berdampak terjadinya pembangkangan. Kenikmatan yang dicurahkan kepadanya justru berbuah musibah bagi diri dan masyarakatnya.

Bani Israil merupakan kaum yang mendapatkan limpahan nikmat berupa makanan tanpa berusaha keras. Allah juga mengirimkan burung siap santap (Manna) dan minuman manis yang enak (Salwa).

Hal ini diabadikan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya :

وَظَلَّلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡغَمَامَ وَأَنزَلۡنَا عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَنَّ وَٱلسَّلۡوَىٰ ۖ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ ۚ وَمَا ظَلَمُونَا وَلَٰكِن كَانُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ يَظۡلِمُونَ

“Dan Kami naungi kamu dengan awan, dan Kami turunkan kepadamu manna dan salwa. Makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu. Dan tidaklah mereka menganiaya Kami, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Al-Baqarah : 57)

Kenikmatan besar lainnya juga dilihat dan dirasakan berupa doa nabi yang mendampingi mereka, Nabi Musa. Nabi Musa berdoa agar mendapatkan air.

Allah pun mengabulkannya dengan mengalirkan air yang terpancar dari batu yang dipukul dengan tongkat Nabi Musa. Berkat mukjizat besar dengan sumber mata air sesuai dengan jumlah suku ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :

وَإِذِ ٱسۡتَسۡقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦ فَقُلۡنَا ٱضۡرِب بِّعَصَاكَ ٱلۡحَجَرَ ۖ فَٱنفَجَرَتۡ مِنۡهُ ٱثۡنَتَا عَشۡرَةَ عَيۡنٗا ۖ قَدۡ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٖ مَّشۡرَبَهُمۡ ۖ كُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ مِن رِّزۡقِ ٱللَّهِ وَلَا تَعۡثَوۡاْ فِي ٱلۡأَرۡضِ مُفۡسِدِينَ

“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu”. Lalu memancarlah darinya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. “(QS. Al-Baqarah : 60)

Alih-alih taat dan patuh pada perintah-Nya, Bani Israil justru tidak bersyukur dan melakukan pembangkangan. Bahkan Bani Israil menjadi pembangkang utama ketika nabi-nabi membawa ajaran yang tidak sesuai dengan keinginan mereka.

Bani Israil bukannya menyimpangkan ajaran, tetapi juga membunuh para nabi karena tidak sesuai dengan keinginannya..

Bani Israil berani melakukan kejahatan tanpa memiliki rasa takut terhadap adzab, karena lupa diri akan asal usul mereka yang sebelumnya tertindas.

Mereka dahulunya dibebaskan Nabi Musa dari cengkeraman Fir’aun. Bahkan berbagai kenikmatan juga mereka saksikan dan rasakan.

Namun ketika sudah bebas dan diminta untuk dan patuh pada ajaran Nabi Musa, mereka justru sering membangkang dan menyakiti hati Nabi Musa.

Bahkan dalam perjalanannya, Bani Israil bukan hanya mendustakan ajaran para nabi, tetapi justru mengusir dan membunuhnya ketika ajaran yang disampaikan tidak sesuai dengan keinginannya. Lupa asal usulnya telah menutup mata, sehingga berperilaku menyimpang hingga berani melanggar aturan Tuhan. (*)

Surabaya, 26 Maret 2025

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *