Peran Agama dalam Mengelola Risiko Lingkungan: Kolaborasi Lintas Iman Menuju Masa Depan Keberlanjutan

Peran Agama dalam Mengelola Risiko Lingkungan: Kolaborasi Lintas Iman Menuju Masa Depan Keberlanjutan

Menghadapi tantangan lingkungan yang semakin kompleks, berbagai organisasi keagamaan dan lintas iman di Indonesia bekerja sama untuk mengelola risiko lingkungan dengan lebih efektif. Sebagai langkah awal dari serangkaian pertemuan yang direncanakan, Eco Bhineka Muhammadiyah bekerja sama dengan Low Carbon Development Initiative (LCDI) menggelar Forum Group Discussion (FGD) bertema “Advokasi Keagamaan dan Lintas Iman dalam Mengelola Risiko Lingkungan” pada Kamis (13/2/2025).

Direktur Eco Bhineka Muhammadiyah, Hening Parlan, menjelaskan, tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperkuat advokasi berbasis agama mengenai isu lingkungan dan perubahan iklim. Hening menegaskan pentingnya membangun kerja sama lintas agama guna mengatasi tantangan lingkungan.

“Berdasarkan data dari BNPB tahun 2024, tercatat sekitar 2.100 bencana alam di Indonesia, 98 persen di antaranya berhubungan dengan perubahan iklim. Oleh karena itu, kolaborasi dengan LCDI, Eco Bhineka Muhammadiyah, serta dukungan dari GreenFaith Indonesia merupakan langkah strategis untuk memperkuat advokasi berbasis agama demi keberlanjutan lingkungan,” ujarnya.

Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah tokoh lintas agama yang berbagi pandangan dan pengalaman mereka. Prof. Dr. Ir. Prabang Setyono, Dewan Pakar Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah dan pakar Ilmu Lingkungan dari Universitas Sebelas Maret (UNS), menekankan peran penting organisasi keagamaan dalam membangun advokasi lingkungan berbasis komunitas.

Ia menjelaskan bahwa Muhammadiyah, melalui Eco Bhineka, telah melaksanakan berbagai program edukasi dan advokasi yang mencakup konservasi sumber daya alam dan pengelolaan limbah.

Dari perspektif Kristen, Prof. Dr. Binsar P. P. Simanjuntak, Rektor Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Jakarta, mengungkapkan bahwa teologi lingkungan dalam ajaran Kristen bisa menjadi dasar etis dalam perlindungan lingkungan.

“Dengan menekankan nilai-nilai keadilan sosial dan tanggung jawab moral, agama dapat menjadi alat yang efektif untuk membangun kesadaran ekologis di masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Dr. Sapardi, akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya, menjelaskan bahwa ajaran Buddha menekankan pentingnya keseimbangan antara manusia dan alam.

“Konsep Metta (cinta kasih), Karuna (belas kasih), Mudita (simpati), dan Upekkha (keseimbangan batin) merupakan landasan yang mendorong kesadaran ekologis dan perilaku yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan,” ungkapnya.

Sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah melalui Eco Bhineka Muhammadiyah terus aktif menjalin kerja sama dengan berbagai komunitas lintas agama untuk menghadapi masalah lingkungan.

Forum diskusi ini juga mendapat dukungan dari Foreign Commonwealth and Development Office (FCDO) Pemerintah Inggris, serta bekerja sama dengan Bappenas dan Oxford Policy Management Limited (OPML). Tujuan dari inisiatif ini adalah untuk mengoptimalkan peran moral yang dimiliki organisasi keagamaan dalam pengelolaan risiko lingkungan dan mendorong pembangunan berkelanjutan.

Hening Parlan menambahkan bahwa meskipun dinamika politik global seringkali mempengaruhi kesepakatan iklim internasional, perlindungan lingkungan di Indonesia harus tetap dilaksanakan dengan pendekatan berbasis nilai-nilai agama. Dengan memanfaatkan otoritas moral yang dimiliki oleh komunitas keagamaan, diharapkan advokasi lingkungan dapat semakin kuat dan berdampak nyata.

“Melalui kolaborasi lintas iman, inisiatif ini tidak hanya memperlihatkan semangat gotong royong dalam melindungi lingkungan, tetapi juga merupakan langkah konkrit menuju masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan,” pungkasnya. (*/tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *