Puasa bukan sekadar ritual tahunan yang dijalankan oleh umat Islam, melainkan ibadah dengan dimensi spiritual yang sangat mendalam. Dalam Islam, puasa Ramadan memiliki keistimewaan tersendiri yang membedakannya dari ibadah-ibadah lainnya.
Penegasan ini disampaikan oleh Prof. Munachem Ali, seorang dosen filologi dari Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Airlangga (Unair), saat memberikan Kajian Ramadan di Masjid Al Badar, Jalan Kertomenanggal, Surabaya, pada Senin (3/3/2024) malam.
Mengawali ceramahnya, Munachem membacakan firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 183: “Ya ayyuhalladzina amanu kutiba ‘alaikum as-siyam kama kutiba ‘ala alladzina min qablikum la’allakum tattaqun.”
“Ayat ini menegaskan bahwa kewajiban berpuasa bukan hanya ditujukan kepada umat Islam saja, tetapi juga telah diperintahkan kepada umat-umat terdahulu. Ini menjadikan puasa sebagai ajaran universal yang diwariskan dari generasi ke generasi, dari para nabi sebelum Nabi Muhammad saw,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa esensi utama dari ibadah puasa adalah meningkatkan ketakwaan, sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat tersebut. Puasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih kesabaran, pengendalian diri, serta memperkuat hubungan spiritual dengan Allah SWT.
Dalam ceramahnya, Munachem juga menyoroti keunikan puasa dibandingkan ibadah lainnya. Ia menyebut bahwa puasa adalah “ibadah rahasia” karena hanya Allah yang mengetahui sejauh mana seseorang menjalankannya dengan penuh keikhlasan.
“Salat berjamaah, misalnya, sudah diketahui pahalanya, yaitu 27 derajat lebih tinggi dibandingkan salat sendirian. Namun dalam ibadah puasa, Allah merahasiakan besaran pahalanya. Hanya Dia yang berhak menentukan balasan bagi hamba-Nya yang menjalankan puasa dengan penuh keikhlasan,” ungkapnya.
Menurutnya, kerahasiaan pahala puasa ini mengandung hikmah yang sangat dalam. Allah ingin menguji tingkat keimanan seseorang secara langsung, tanpa campur tangan manusia lainnya. Sehingga, puasa benar-benar menjadi ibadah yang murni antara hamba dan Tuhannya.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Munachem juga mengulas perbedaan antara dua sapaan Allah dalam Al-Quran, yaitu “Ya ayyuhannas” (wahai manusia) dan “Ya ayyuhalladzina amanu” (wahai orang-orang yang beriman).
“Ketika Allah berfirman ‘Ya ayyuhannas’, itu berarti seruan yang ditujukan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali, baik Muslim maupun non-Muslim. Namun, ketika Allah menggunakan ‘Ya ayyuhalladzina amanu’, maka sapaan ini dikhususkan bagi orang-orang yang beriman. Ini menunjukkan bahwa menjalankan puasa dengan sepenuh hati dan kesungguhan adalah tanda keimanan sejati,” paparnya.

Asal-Usul Istilah “Puasa”
Dalam kajian tersebut, Munachem Ali juga menyinggung asal-usul kata “puasa” dalam berbagai bahasa. Ia mengungkapkan bahwa dalam bahasa Jawa dikenal istilah “poso.”
Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut “puasa.” Istilah ini, menurutnya, berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu upavasa, yang berarti mendekatkan diri kepada Tuhan.
“Dalam kitab-kitab Hindu kuno seperti Manawa Dharma Sastra, istilah upavasa digunakan untuk merujuk pada praktik menahan diri dari makanan dan minuman sebagai bentuk penghormatan kepada dewa-dewa. Ini menunjukkan bahwa praktik berpuasa sudah ada sejak zaman dahulu dan selalu dikaitkan dengan nilai-nilai spiritual,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa meskipun puasa dikenal dalam berbagai tradisi agama, Islam memberikan makna yang lebih mendalam dengan mengaitkannya secara langsung dengan tujuan ketakwaan dan penyucian jiwa.
Di penghujung kajian, Prof. Munachem mengajak seluruh jamaah untuk mensyukuri kesempatan bertemu kembali dengan Ramadan tahun ini. Ia mengingatkan bahwa banyak orang yang mendambakan Ramadan 2025, tetapi Allah telah lebih dahulu memanggil mereka.
“Kita yang masih diberi kesempatan oleh Allah untuk menikmati bulan suci ini, mari manfaatkan sebaik-baiknya. Jadikan Ramadan sebagai momentum untuk memperbaiki diri, meningkatkan ibadah, dan memperkuat hubungan dengan Allah,” pesannya.
Ia juga mengingatkan pentingnya menjaga niat dalam berpuasa agar tidak hanya menjadi rutinitas tahunan, tetapi benar-benar membawa perubahan dalam kehidupan.
Kajian ini mendapat respons yang sangat positif dari para jamaah yang hadir. Banyak di antara mereka yang mengaku mendapatkan wawasan baru tentang makna puasa yang lebih luas, tidak hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga sebagai sarana meningkatkan ketakwaan serta memperdalam hubungan spiritual dengan Allah SWT.
Dengan kajian yang penuh makna ini, diharapkan umat Islam dapat menjalani ibadah puasa dengan pemahaman yang lebih dalam, sehingga manfaatnya tidak hanya dirasakan secara individu, tetapi juga berdampak positif bagi lingkungan dan masyarakat secara keseluruhan. (wh)