Ramadan Berkah dengan Energi Bersih dan Berkelanjutan

Ramadan Berkah dengan Energi Bersih dan Berkelanjutan

Ramadan bukan sekadar bulan ibadah dan refleksi spiritual, tetapi juga momen yang tepat untuk menginternalisasi nilai-nilai Islam dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan.

Sebagai bagian dari upaya mendorong kesadaran akan pentingnya transisi menuju energi terbarukan, sejumlah organisasi, termasuk Suara Muhammadiyah, Greenfaith Indonesia, MOSAIC, 1000Cahaya, serta Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, menggelar diskusi bertajuk “Cahaya Ramadan: Menjalani Ibadah dengan Energi Berkelanjutan”.

Diskusi ini menyoroti pentingnya menerapkan prinsip keberlanjutan dalam kehidupan sehari-hari, terutama di bulan Ramadan, di mana konsumsi energi cenderung meningkat seiring dengan peningkatan aktivitas ibadah dan konsumsi rumah tangga.

Para pembicara menekankan bahwa Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam penggunaan sumber daya alam.

Wakil Ketua Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah sekaligus Direktur Eksekutif Muhammadiyah Climate Center, Agus S. Djamil, mengungkapkan bahwa kemandirian energi merupakan suatu keharusan.

“Saya sangat senang melihat bagaimana isu transisi energi kini tidak hanya menjadi bahasan akademik, tetapi juga mulai mendapat perhatian dalam diskusi keagamaan. Indonesia memiliki potensi besar dalam energi terbarukan, seperti tenaga surya, panas bumi, angin, hingga energi dari air dan laut. Namun, ironisnya, kita masih sangat bergantung pada energi impor,” jelasnya.

Lebih lanjut, Agus menegaskan perlunya strategi yang tepat dalam memanfaatkan sumber energi yang melimpah di Indonesia. Ia menyoroti pentingnya penghitungan biaya Levelized Cost of Electricity (LCOE) yang rendah serta investasi yang tepat guna memastikan keberlanjutan dan efisiensi dalam penggunaan energi terbarukan.

Ramadan Berkah dengan Energi Bersih dan Berkelanjutan
Peserta diskusi saat sesi foto bersama. foto: ist

Fikih Energi Berkeadilan

Dalam acara ini, turut diperkenalkan Buku Fikih Transisi Energi Berkeadilan, yang merupakan hasil kajian komprehensif dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat terdampak. Buku ini diharapkan dapat menjadi pedoman umat Islam dalam memahami dan mengimplementasikan konsep transisi energi secara adil dan berkelanjutan.

Qaem Aulassyahied dari Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, yang juga terlibat dalam penyusunan buku tersebut, menyoroti adanya ketimpangan dalam kepemilikan dan distribusi energi.

“Permasalahan utama dalam sektor energi bukan hanya pada teknologinya, tetapi juga bagaimana sumber daya ini dikelola dan siapa yang mendapat manfaatnya. Keserakahan dan ketimpangan struktural dalam pengelolaan energi dapat menghambat pemerataan kesejahteraan,” ujarnya.

Qaem menambahkan bahwa setiap individu bisa berkontribusi dalam konservasi energi, misalnya dengan menghemat penggunaan listrik serta mencari sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan.

Selain inisiatif dari masyarakat, peran pemerintah dalam mendorong efisiensi energi juga menjadi topik diskusi. Eko Sudarmawan, dari Kelompok Kerja Bimbingan Teknis Konservasi Energi di Direktorat Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, mengungkapkan bahwa berbagai program telah diluncurkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

Salah satu program berhasil menurunkan konsumsi listrik hingga 75% dalam waktu tiga bulan pada beberapa wilayah di Jakarta melalui penerapan langkah-langkah hemat energi yang sederhana.

Eko juga menjelaskan bahwa di sektor rumah tangga, penggunaan pendingin udara (AC) menyumbang sekitar 50-60% dari total konsumsi listrik.  Dengan memanfaatkan pencahayaan alami di siang hari dan mengganti lampu dengan teknologi LED, masyarakat dapat menghemat energi hingga 15%.

“Langkah-langkah kecil ini jika dilakukan secara kolektif dapat memberikan dampak besar dalam pengurangan beban energi nasional,” tambahnya.

Ramadan Berkah dengan Energi Bersih dan Berkelanjutan
Sesi diskusi bersama Hening Parlan (GreenFaith Indonesia), Eko Sudarmawan (Kementerian ESDM), dan Qaem Aulassyahied (Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah), dimoderatori oleh Elok F Mutia (Mosaic). foto: ist

Hening Parlan, Koordinator Nasional Greenfaith Indonesia, mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam mengelola energi, terutama di bulan Ramadan.

“Kita sering membicarakan puasa dalam konteks makanan dan minuman, tetapi bagaimana dengan puasa energi? Kita bisa mulai dengan mematikan lampu yang tidak diperlukan, mengurangi penggunaan listrik berlebih di masjid, dan menerapkan prinsip efisiensi di rumah masing-masing,” ujarnya.

Menurutnya, bulan Ramadan merupakan kesempatan emas untuk memulai kebiasaan baik, termasuk dalam aspek keberlanjutan lingkungan. Ia menegaskan bahwa perilaku konsumtif yang berlebihan, baik dalam hal makanan maupun energi, justru dapat mengurangi nilai spiritual dari ibadah itu sendiri.

Menutup diskusi, Aldy Permana dari Muslims for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) Indonesia menyampaikan harapannya agar upaya ini dapat menginspirasi umat Islam untuk menjadikan energi bersih sebagai bagian dari gaya hidup.

“Buku Fikih Transisi Energi Berkeadilan dan diskusi ini diharapkan dapat menjadi langkah awal menuju masyarakat yang lebih sadar akan pentingnya energi terbarukan. Ramadan adalah waktu terbaik untuk memulai perubahan yang lebih baik, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk bumi yang kita tinggali,” tutupnya.

Dengan meningkatnya kesadaran dan keterlibatan berbagai pihak dalam isu energi berkelanjutan, diharapkan umat Islam dapat menjadi pelopor dalam mengadopsi gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, sejalan dengan ajaran Islam tentang keseimbangan dan kepedulian terhadap alam. (*/tim)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *