Mari kita tingkatkan ketakwaan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Ketakwaan yang diwujudkan dalam mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sebulan yang lalu, kita menyambut kedatangan tamu agung: bulan suci nan mulia, Ramadan. Kaum muslimin menyambutnya dengan penuh semangat dan kegembiraan.
Namun, kepergiannya meninggalkan rasa kehilangan yang begitu mendalam—terutama bagi mereka yang menghidupkan Ramadhan dengan keikhlasan, bukan sekadar rutinitas ibadah yang bersifat sementara.
Kini, sudah tujuh hari Ramadhan berpisah dari kita. Selama bulan tersebut, kita berlomba-lomba dalam ibadah, menggapai derajat takwa.
Namun, kehadiran Ramadan memang dibatasi waktu: hanya 29 atau 30 hari. Bagi mereka yang merindukan Ramadhan, kepergiannya menorehkan kerinduan yang dalam. Mungkin masih banyak dari kita yang belum benar-benar menemukan makna sejati dari Ramadan.
Kedatangan dan kepergian adalah soal waktu, tetapi esensi Ramadhan akan tetap tinggal bersama mereka yang istiqamah. Ukuran keberhasilan ibadah Ramadhan justru tampak setelah ia berlalu. Apakah kita tetap menjaga semangat ibadah atau justru kembali larut dalam kelalaian?
Dahulu, para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tampak bersedih di akhir Ramadan. Raut wajah mereka menunjukkan kegundahan, karena mereka sadar: bulan penuh rahmat, ampunan, berkah, dan atmosfer spiritual yang kental akan segera berlalu.
Berbeda dengan kita hari ini, yang justru menyambut akhir Ramadhan dengan pesta dan kegembiraan.
Rasulullah sendiri menunjukkan kesedihan mendalam saat hendak berpisah dengan Ramadhan. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau bersabda:
“Apabila malam terakhir bulan Ramadhan tiba, maka menangislah langit, bumi, dan para malaikat karena musibah menimpa umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.”
Sahabat bertanya: “Musibah apa yang dimaksud?”
Rasul menjawab: “Perginya bulan Ramadhan. Karena di bulan itu doa-doa diijabah, sedekah diterima, amal kebaikan dilipatgandakan, dan siksa ditahan.” (HR. Jabir)
Kita tidak tahu apakah masih diberi kesempatan bertemu Ramadhan tahun depan. Sungguh celaka bila kita tidak memanfaatkan Ramadhan tahun ini untuk mengumpulkan pahala, dan hanya membawa lapar serta dahaga.
Sebagian orang mungkin masih melanjutkan kebiasaan ibadahnya, seperti membaca Al-Qur’an, tetapi banyak pula yang mulai meninggalkan mushafnya.
Sungguh merugi mereka yang beribadah hanya karena kehadiran Ramadhan. Namun beruntunglah mereka yang beribadah karena Allah; sebab selepas Ramadhan pun mereka tetap melanjutkan amal-amal kebaikan dengan penuh kesungguhan.
Bagi seorang muslim sejati, Ramadhan adalah momentum untuk memperkuat iman dan memperteguh hati, agar tetap istiqamah dalam bulan-bulan berikutnya. Sebagaimana doa yang senantiasa kita panjatkan dalam Al-Qur’an:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami. Karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena Engkaulah Maha Pemberi karunia.” (QS. Ali ‘Imran: 8)
Kini, amaliah Ramadan telah usai. Kalimat “Selamat jalan, Ramadan” pun terucap. Pertanyaannya: akankah Ramadan meninggalkan kita dengan kesan baik?
Akankah ia membawa laporan kepada Allah bahwa kita melayaninya dengan sepenuh hati, dengan ibadah yang ikhlas dan tulus demi meraih ridha-Nya?
Ramadan seakan berpesan kepada para pemburunya: “Tetaplah istiqamah, lanjutkan perjuanganmu meski aku telah pergi.”
Sebab, buah dari amaliah Ramadhan sesungguhnya bukan di bulan itu saja, tetapi setelahnya: apakah kita tetap mampu menjaga semangat, ibadah, dan ketakwaan hingga Ramadan berikutnya?
Dan semoga puasa, Al-Qur’an, dan amal kita selama Ramadan menjadi syafaat kelak di hadapan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah:
“Sesungguhnya puasa dan Al-Qur’an akan memberikan syafaat bagi seorang hamba pada hari kiamat. Puasa berkata: ‘Wahai Tuhanku, aku telah mencegahnya dari makan dan syahwat, maka berilah ia syafaat.’ Al-Qur’an berkata: ‘Aku mencegahnya dari tidur malam, maka berilah ia syafaat.’ Maka keduanya pun diberi izin untuk memberi syafaat.” (HR. Ahmad, At-Thabrani, dan al-Hakim)
Insya Allah, kita masih diberi kesempatan untuk berjumpa kembali dengan Ramadan 1447 H.
Semoga kita, para alumni Ramadan, benar-benar menjadi hamba-hamba Allah yang muttaqin. Semoga Ramadhan yang baru lalu bukanlah yang terakhir untuk kita.
Sampai jumpa, Ramadan. Kami merindukanmu. Aamiin. (*)