Idulfitri tiba di tengah berbagai tantangan. Dunia masih menghadapi gejolak, baik dari sisi ekonomi, sosial, maupun politik. Konflik, krisis, dan ketidakpastian masih menyelimuti banyak negara.
Di dalam negeri, dinamika sosial juga terus berkembang. Di tengah situasi ini, Idulfitri mengajarkan tentang harapan, kebersamaan, dan kemenangan atas diri sendiri.
Pantasnya, hikmah besar bisa diraih. Setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadan. Menahan hawa nafsu. Bertaqarrub (mendekat kepada Allah). Menyemai kebajikan. Bersabar dalam kepungan kekalutan dan krisis.
Sekarang saatnya meraih kemenangan. Kembali kepada kesucian. Itu dimanifestasikan dengan ucapan syukur sekaligus bertakbir menyebut Asma Allah. Dalam konteks hubungan kita dengan Sang Pencipta. Juga hubungan sesama manusia.
Kita juga kembali memfungsikan fitrah bawaan sejak lahir. Menggunakan hati, pikiran, dan akal secara benar. Tidak membolak-balikkan fungsi fitrah. Seperti anjuran: jangan bercinta dengan akal, karena cinta itu dalam hati.
Muhammad Quraish Shihab, cendekiawan muslim dalam ilmu Al-Qur’an, mengatakan kemenangan di Hari Raya Idulfitri adalah kemenangan pertempuran. Bukan kemenangan peperangan. Kata dia, peperangan masih terus berlanjut sampai akhir hayat kita.
Lantas, jika Idulfitri adalah kemenangan pertempuran, tak layak dirayakan?
Ibarat bermain sepak bola, bila ada yang mencetak gol, tentu dirayakan. Digelorakan. Berteriak gembira. Senyum kebanggaan. Saling berpelukan dalam sukacita. Bahkan ada yang terharu hingga meneteskan air mata.
Tapi, jangan anggap mencetak gol berarti kita sudah menang. Pertandingan masih berlangsung. Banyak kejadian yang tak terduga. Bisa jadi ada gol balasan. Bisa terjadi pergantian pemain. Termasuk peluang lawan membalikkan keadaan. Karenanya, kita harus menjaga kemenangan sampai pertandingan usai. Sampai peluit akhir dibunyikan.
Kemenangan pertempuran bersifat tentatif. Sebaliknya, kemenangan peperangan adalah yang hakiki. Makanya, masih banyak yang perlu kita capai dan perjuangkan. Upaya menempa diri di bulan Ramadan adalah salah satu cara meraih kemenangan hakiki.
Idulfitri juga merefleksikan kebersamaan. Meski ibadah yang dilakukan bersifat individual. Karenanya, semua komponen bangsa patut merenung dan berpikir jernih. Terutama di masa krisis akibat wabah.
Apakah kita akan terus melanggengkan pertikaian? Menyuburkan caci maki, olok-olok, menyebar kebencian, tuding-menuding kesalahan, syak wasangka, amarah, dan fitnah?
Ibarat kapal, bangsa ini sedang oleng. Butuh kekuatan untuk menyelamatkan diri. Jika tidak, kita semua akan jatuh dalam keterpurukan.
Kita butuh kerja sama, bukan sekadar sama-sama kerja. Bahu membahu, bukan saling menipu. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Menghimpun kekuatan bersama agar segera terbebas dari wabah yang mengancam keselamatan jiwa.
Seperti pesan yang bertebaran di Hari Raya Idulfitri: taqoballahu minna wa minkum (semoga Allah menerima amal kami dan kalian). Itu adalah wujud perjuangan bersama, bukan individual. Begitu pula balasannya: taqobbal ya karim (terimalah, ya Allah Yang Maha Mulia).
Lantas, bagaimana menggapai kebersamaan jika hidup dipaksa berjarak?
Kebersamaan tidak selalu berarti secara fisik. Komunikasi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Teknologi telah memberi banyak kemudahan dan kecepatan. Di sanalah komunikasi kita rajut. Doa bisa saling kita panjatkan.
Seluruh komponen bangsa kini perlu mendorong gerakan pencerahan jiwa. Memurnikan akal sehat. Tidak terjebak hawa nafsu dan amarah. Merekatkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menguatkan persaudaraan dan gotong royong.
Pada akhirnya, saya percaya pada diktum kaum sufi: “Persaudaraan bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Persaudaraan adalah sesuatu yang harus Anda lahirkan. Anda tidak dapat memetik kecintaan bila menanam kebencian. Anda tidak akan memperoleh saudara bila bertindak sebagai musuh. Anda tidak akan memanen ketulusan dari orang lain bila memelihara kemunafikan.” (*)