Menjelang datangnya bulan suci Ramadan, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Dr. KH. Syamsuddin menyampaikan pesan penting kepada masyarakat.
Dia menekankan makna mendalam dari puasa dan bagaimana umat Islam seharusnya mempersiapkan diri menyambut bulan suci ini.
“Puasa secara bahasa berasal dari kata asshaum, yang berarti menahan diri dari sesuatu. Oleh karena itu, umat Islam harus mampu membuktikan diri dalam menahan berbagai hal yang dapat membatalkan ataupun mengurangi nilai ibadah puasa,” katanya dalam diskusi #3 Majelistabligh.id yang bertajuk “Euforia Ramadan: Antara Tradisi, Konsumerisme, dan Kesederhanaan” di Kantor PWM Jatim, Jalan Kertomenanggal IV/1, Surabaya, Jumat (21/2/2025).
Selain KH Syamsuddin, ada dua narasumber lain yang hadir, yakni Ir. Imam Supriyono, MM (anggota Majelis Ekonomi, Bisnis & Pariwisata PWM Jatim), Ustaz Afifun Nidlom MPd, MH (Ketua Korps Mubaligh Muhammadiyah Jatim). Sebagai pemantik diskusi, Ustaz Amsikul Ma’arif, S.Ag (Anggota Majelis Tabligh Jawa Timur).
Dalam kesempatan tersebit Syamsuddin menyoroti dimensi sosiologi agama dalam praktik puasa. Menurut dia, ada hubungan yang saling mempengaruhi antara agama dan masyarakat.
“Cara masyarakat menyambut Ramadan bisa berbeda-beda di setiap daerah, hal itu mencerminkan keberagaman ekspresi keagamaan yang tidak bisa dihalangi karena merupakan bagian dari tradisi dan urusan pribadi,” jelasnya.

Ia juga merujuk pada karya Ali Akhmad Al-Jurjawi tentang sejarah tradisi penyambutan Ramadan:
“Di masa lalu, tradisi penyambutan Ramadan dimulai sejak Nisfu Syaban. Bahkan, pihak istana terlibat langsung dalam menyambut bulan suci ini, dengan menghidupkan makam-makam menggunakan lampu sebagai bentuk penghormatan dan persiapan spiritual,” terangnya
Menurutnya, persiapan menyambut Ramadan tidak cukup hanya secara fisik, tetapi lebih kepada aspek ruhani.
“Dalam menyambut Ramadan, kita harus memiliki persiapan yang menonjolkan aspek ruhani, bukan sekadar jasmani. Bagaimana kita dapat memanen hikmah dalam Ramadan, itulah yang harus ditekankan,” papar dosen UIN Sunan Ampel itu.
Syamsuddin juga menekankan perlunya gerakan masif untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya Ramadan sebagai momentum memperkuat spiritualitas dan meningkatkan kualitas ibadah.
“Ekspresi keagamaan merupakan bagian dari budaya, yang secara integral menyatu dalam kehidupan manusia,” katanya
Dalam perspektif Tarjih Muhammadiyah, ia menjelaskan bahwa tradisi yang berkembang di luar ranah ibadah dapat menjadi budaya yang syar’i selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama.
“Jika berada di luar ibadah, maka tradisi tersebut tidak menjadi bid’ah (hadarhh), melainkan bisa menjadi budaya yang syar’i, bahkan masuk dalam kategori sunnah hasanah. Contohnya adalah menjamu khatib dan makan bersama saat Idulfitri,” jelasnya.
Syamsuddin juga mengingatkan agar masyarakat tidak hanya fokus pada aspek agama dan budaya dalam Ramadan, tetapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi yang tidak kalah penting dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, Ustaz Afifun Nidlom, M.Pd, MH menegaskan, bulan Ramadan selalu menjadi momen yang dinanti-nantikan oleh umat Muslim di seluruh dunia.
“Bulan yang penuh berkah ini tidak hanya dikenal sebagai waktu untuk beribadah dan meningkatkan spiritualitas, tetapi juga sebagai bulan yang sarat dengan tradisi dan euforia khas yang telah berkembang selama berabad-abad,” katanya.

Salah satu bukti keistimewaan Ramadan adalah disebutkannya nama bulan ini dalam Al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Qashash ayat 68:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (QS Al-Qashash [28]: 68)
Nidlom, juga menjelaskan bahwa bulan Ramadan merupakan anugerah besar dari Allah bagi umat Islam. “Ramadan adalah bulan istimewa yang dipilih oleh Allah sebagai waktu penyucian diri dan peningkatan ketakwaan,” ujar dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) itu.
Menurut Nidlom, generasi salaf terdahulu sangat menghargai kehadiran Ramadan. Mereka bahkan berdoa selama enam bulan sebelum Ramadan agar dapat dipertemukan dengan bulan suci ini, dan enam bulan setelahnya agar amal ibadah mereka diterima oleh Allah.
Selain sebagai waktu untuk beribadah, imbuh dia, Ramadan juga memiliki makna sosial yang mendalam. Tradisi seperti berbuka puasa bersama, membagikan makanan kepada yang membutuhkan, serta meningkatnya aktivitas keagamaan di masjid menjadi bagian dari euforia yang dirasakan masyarakat.
Nidlom menambahkan bahwa kata marhaban yang sering digunakan dalam menyambut Ramadan berasal dari kata rahiba, yang berarti luas atau lapang. “Ini menunjukkan bahwa Ramadan seharusnya disambut dengan hati yang lapang dan penuh kegembiraan,” jelasnya.
Lebih dari sekadar ibadah puasa, kata dia, Ramadan mengajarkan nilai kebersamaan dan kepedulian sosial. Berbagi makanan untuk berbuka puasa, membantu fakir miskin, serta meningkatkan solidaritas antar sesama menjadi bagian dari tradisi Ramadan yang terus dijaga.
Euforia Ramadan tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga oleh komunitas yang bersama-sama merayakan datangnya bulan penuh berkah ini. “Ramadan adalah momentum terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah serta memperkuat hubungan antar sesama manusia,” tutup dia. (wh)