Sociopreneurship Muhammadiyah: Merajut Keberkahan dalam Setiap Rupiah

Sociopreneurship Muhammadiyah: Merajut Keberkahan dalam Setiap Rupiah

Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Prof. Nazaruddin Malik menegaskan bahwa penerapan ekonomi Islam yang ideal dalam Muhammadiyah adalah konsep social enterprise atau sociopreneurship. Menurutnya, pendekatan ini tidak hanya berorientasi pada profit semata, tetapi juga bertujuan untuk memberikan manfaat sosial yang lebih luas bagi masyarakat.

Dalam sesi Pengajian Ramadan 1446 H yang diselenggarakan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dengan tema “Pengembangan Wasathiyah Islam Berkemajuan dalam Muhammadiyah: Tinjauan Ekonomi,” Nazaruddin menjelaskan bahwa sociopreneurship menuntut gaya kepemimpinan yang mengutamakan profesionalisme, transparansi, serta akuntabilitas.

“Hal ini menjadi landasan utama dalam mengelola Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) agar dapat berkembang secara berkelanjutan dan memberikan manfaat bagi umat,” katanya seperti dilansir di laman resmi PP Muhammadiyah, pada Selasa (4/3/2025).

Konsep sociopreneurship dalam konteks Muhammadiyah menekankan pada prinsip kebermanfaatan bersama. Nazaruddin menyoroti bahwa:

“Para pemimpin AUM harus memiliki kesadaran kolektif untuk berbagi dan mendukung perkembangan AUM lain, bukan hanya fokus pada kepentingan internal organisasi mereka sendiri. Dengan begitu, Muhammadiyah dapat membangun ekosistem ekonomi yang lebih inklusif dan berorientasi pada kemaslahatan umat.”

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa pengelolaan investasi dari surplus yang dihasilkan oleh AUM dapat disalurkan ke berbagai sektor strategis seperti pendidikan dan kesehatan.

“Dengan demikian, surplus yang diperoleh tidak hanya menjadi keuntungan finansial bagi organisasi, tetapi juga menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas,” tegas wakil ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu.

Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan AUM adalah persoalan kepemilikan (ownership). Nazaruddin menekankan bahwa:

“AUM bukanlah entitas bisnis pribadi, melainkan milik persyarikatan Muhammadiyah. Oleh karena itu, pemimpin AUM harus memiliki integritas tinggi dan menghindari praktik penyalahgunaan keuangan yang dapat merugikan organisasi dan mencederai nilai-nilai Islam.”

Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemimpin AUM diharapkan dapat menjadi teladan dalam menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab.

Selain itu, pendekatan spiritual juga memiliki peran penting dalam membentuk karakter pemimpin yang amanah. Dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mengutamakan kepentingan umat, mereka dapat terhindar dari godaan untuk menyalahgunakan amanah yang diberikan.

Nazaruddin juga mengibaratkan Muhammadiyah sebagai wadah yang ideal untuk mengintegrasikan ajaran agama dengan praktik kepemimpinan yang profesional. Menurutnya:

“Keberhasilan dalam mengelola AUM tidak hanya diukur dari aspek finansial semata, tetapi juga dari sejauh mana nilai-nilai Islam dapat diimplementasikan dalam praktik ekonomi dan bisnis.”

Sebagai langkah konkret, ia mengajak seluruh elemen Muhammadiyah untuk mengelola surplus AUM dengan penuh kehati-hatian:

“Surplus yang dihasilkan tidak hanya harus dipertahankan, tetapi juga diinvestasikan kembali untuk memperluas dampaknya ke berbagai sektor dan wilayah. Dengan pendekatan ini, Muhammadiyah dapat terus memperkuat posisinya sebagai organisasi yang berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan umat dan menciptakan sistem ekonomi yang lebih adil dan berkeadilan.”

Sebagai kesimpulan, penerapan social enterprise dalam ekonomi Muhammadiyah bukan hanya sekadar konsep, tetapi juga sebuah langkah nyata untuk menciptakan tatanan ekonomi yang lebih inklusif dan berbasis pada nilai-nilai Islam.

Dengan kepemimpinan yang profesional, transparan, dan berorientasi pada kemaslahatan, Muhammadiyah dapat terus menjadi pelopor dalam membangun kesejahteraan umat secara berkelanjutan. (*/wh)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *