Idulfitri 1446 H menjadi momen istimewa yang juga memunculkan perbincangan unik: viralnya tarian berbaris, seperti Penguin Dance, dalam berbagai acara silaturahmi keluarga.
Fenomena ini tersebar luas di TikTok, menampilkan tarian berkelompok dengan gerakan khas, berjalan mengikuti irama musik secara seragam dan ritmis.
Beberapa netizen menyebut tarian ini mirip dengan tarian Yahudi. Namun, berdasarkan beberapa literatur yang pernah saya baca, Penguin Dance atau dikenal juga sebagai Letkajenkka memiliki akar dari negara-negara Eropa seperti Finlandia dan Albania.
Di Finlandia, tarian ini dikenal sebagai Letkis, sebuah tarian rakyat yang populer pada abad ke-19, diiringi lagu Letkajenkka ciptaan Rauno Lehtinen.
Sementara di Albania, terdapat tarian berbaris serupa yang merupakan bagian dari tradisi rakyat dan sering dilakukan dalam pesta pernikahan serta festival.
Tarian ini bukan bagian dari ibadah agama tertentu. Gerakannya yang sederhana dan menyenangkan membuatnya mendunia serta mengalami berbagai modifikasi, termasuk masuk ke media sosial sebagai bentuk hiburan.
Jadi, berdasarkan beberapa literatur yang saya baca, Penguin Dance bukanlah bagian dari ritual agama tertentu, melainkan produk budaya populer yang telah menyebar secara global dan diadaptasi oleh berbagai komunitas. Wallahu a’lam bishawab, dengan segala keterbatasan literatur dan pengetahuan.
Ketika Budaya Masuk dalam Tradisi Islam: Seru-Seruan atau Sinkretisme?
Kemunculan tarian ini di tengah perayaan Idulfitri mengundang beragam respons. Ada yang khawatir akan percampuran budaya yang dapat mengaburkan nilai sakral hari raya.
Namun, perlu dicermati bahwa selama tarian ini tidak diniatkan sebagai bentuk ibadah, tidak melanggar syariat, dan tidak secara eksplisit menyerupai praktik khas agama lain dalam konteks ibadah ritual, maka ia tidak termasuk dalam kategori sinkretisme, melainkan sekadar ekspresi budaya.
Rasulullah saw sendiri memberi ruang bagi budaya yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Aisyah RA, disebutkan bahwa dua budak perempuan menyanyi dan menabuh rebana di rumahnya saat hari raya. Umar RA mencoba menghentikan mereka, namun Rasulullah bersabda:
“Biarkan mereka, wahai Umar. Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari rayanya, dan ini adalah hari raya kita.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini turun dalam konteks rumah tangga Nabi yang sedang berada dalam suasana santai di hari raya. Para budak perempuan tersebut menyanyikan lagu bertema kepahlawanan, dan Nabi membiarkannya selama itu bukan nyanyian yang mengandung unsur maksiat.
Hal ini menunjukkan bahwa kesenangan di hari raya diperbolehkan selama masih dalam batas-batas yang sopan dan tidak bertentangan dengan akidah.
Penekanan pada Niat
Allah SWT berfirman: “Dan tidaklah kamu bersalah atas kesalahan yang kamu lakukan tanpa sengaja, tetapi (kamu akan bersalah) terhadap apa yang disengaja oleh hatimu.”(QS. Al-Ahzab: 5)
Ayat ini turun dalam konteks perubahan hukum tentang nasab dan adopsi pada masa awal Islam. Dahulu, orang-orang mengadopsi anak dan menisbatkan namanya seolah-olah sebagai anak kandung.
Allah SWT kemudian menurunkan ayat ini untuk menjelaskan bahwa Allah tidak menghukum kesalahan yang terjadi karena kebiasaan masa lalu yang belum diketahui hukumnya. Yang dinilai oleh Allah adalah kesengajaan dalam hati.
Ini menegaskan prinsip penting bahwa niat menjadi faktor utama dalam diterimanya suatu amal, sebagaimana ditegaskan dalam hadis:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan…”(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini disampaikan Nabi SAW ketika seorang sahabat berhijrah bukan karena Allah dan Rasul-Nya, tetapi karena ingin menikahi seorang wanita. Maka Rasulullah SAW menjelaskan bahwa nilai hijrahnya tergantung pada niatnya, bukan hanya pada bentuk lahiriahnya.
Waspada Boleh, Tapi Tidak Ghuluw
Kita patut menjaga kesakralan Idulfitri dan menghindari pencampuran dengan hal-hal yang dapat mengarah pada penistaan agama.
Namun, tidak semua bentuk hiburan rakyat yang viral dapat dikategorikan sebagai bagian dari ritual keagamaan lain. Dalam konteks sejarah dan niatnya, tarian Penguin Dance adalah ekspresi budaya global, bukan ritual ibadah.
Selama tarian tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tidak mengandung unsur sensualitas, dan tidak diniatkan sebagai ibadah ritual, maka ekspresi kegembiraan ini masih berada dalam ranah budaya, bukan akidah.
Silaturahmi tetap sakral, kebahagiaan boleh dirayakan. Namun, mari pastikan bahwa setiap ekspresi kita mengandung nilai kebaikan dan menjauhkan diri dari unsur penyerupaan ritual agama lain.
Jika tarian TikTok tersebut lebih banyak membawa mudarat, maka sebaiknya dihindari atau tidak dilakukan secara berlebihan. Jadikan niat sebagai pengarah, syariat sebagai batas, dan ilmu sebagai pencerah dalam menyikapi tren budaya di zaman ini.
Wallahu a’lam bishawab. (*)