Tentang Luka, Dendam, dan Kelegaan yang Ditunggu

Tentang Luka, Dendam, dan Kelegaan yang Ditunggu
*) Oleh : Agus Wahyudi

Tidak semua luka tampak di permukaan. Ada luka-luka yang tak berdarah, tapi nyerinya menetap. Luka itu bukan dari benda tajam, tapi dari kata-kata. Dari sikap dingin. Dari pengkhianatan. Dari perlakuan tak adil.

Kadang datang dari orang terdekat. Sahabat. Pasangan. Keluarga. Dan itulah yang membuatnya begitu dalam.

Luka semacam ini tidak selalu hilang seiring waktu. Ia bersembunyi. Tapi sesekali muncul kembali. Ketika melihat wajah yang sama. Mendengar nama yang sama. Atau sekadar melintas kenangan lama.

Sebagian orang bisa menerima kenyataan pahit. Tapi sulit menerima bahwa tidak semua kejadian akan punya penjelasan. Di titik itulah iman diuji. Hati ditempa.

Lalu datang tantangan berikutnya: memaafkan.

Memaafkan terdengar sederhana. Tapi siapa pun yang pernah disakiti tahu, ini bukan hal ringan. Kata orang, “Saya sudah memaafkan.” Tapi dalam hati masih ada getir. Ada kejengkelan yang belum reda. Dan itu wajar.

Pertanyaannya: mengapa memaafkan terasa berat?

Karena kita merasa itu berarti membiarkan yang salah lolos. Atau karena luka itu masih segar. Masih menyakitkan. Atau karena kita belum benar-benar siap melepaskan.

Menurut Imam Al-Ghazali, “Memaafkan adalah bagian dari akhlak para nabi. Dan barangsiapa yang berusaha memiliki akhlak para nabi, maka ia sedang berjalan menuju kedekatan dengan Allah.”

Memaafkan memang bukan untuk orang biasa. Tapi itu bisa dipelajari. Sedikit demi sedikit. Mulai dari niat, hingga benar-benar ikhlas.

Rasulullah saw memberikan teladan yang luar biasa. Saat beliau berdakwah di Thaif, beliau dilempari batu. Kakinya berdarah. Jiwanya terluka. Malaikat datang dan menawarkan untuk menghancurkan penduduk Thaif.

Tapi apa kata Rasulullah?

“Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaumku, karena mereka tidak mengetahui.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau memilih memaafkan. Bukan karena lemah. Tapi karena hati beliau luas. Karena misi beliau adalah menyelamatkan, bukan menghukum.

Dalam kesempatan lain, ketika menaklukkan Makkah, Rasulullahsaw punya kuasa untuk membalas dendam. Tapi beliau justru berkata:

“Pergilah, kalian bebas.” (Hadis ini diriwayatkan dalam berbagai riwayat tentang Fathu Makkah)

Ulama besar seperti Ibn Qayyim al-Jawziyyah menulis dalam Madarij As-Salikin:

“Balasan terbaik terhadap orang yang menyakitimu bukanlah dengan pembalasan yang sama, tapi dengan memperbaiki dirimu dan menyerahkan urusannya kepada Allah.”

Ini bukan soal siapa menang dan siapa kalah. Tapi siapa yang kuat menjaga jiwanya tetap bersih.

Secara psikologis, menyimpan dendam terbukti mengganggu kesehatan mental. Psikolog klinis menyebutkan, orang yang menyimpan dendam cenderung lebih cemas, lebih mudah depresi, dan susah tidur. Sedangkan mereka yang mampu memaafkan, hidupnya lebih ringan.

Saya pernah bertemu seseorang yang berkata, “Saya tidak bisa memaafkan dia. Lukanya terlalu dalam.” Bertahun-tahun ia hidup dengan kemarahan. Ia kira itu kekuatan. Tapi lama-lama ia merasa lelah. Hidupnya tidak tenang.

Hingga suatu saat, ia berkata, “Saya ingin sembuh. Saya ingin damai.” Dan dari sanalah proses itu dimulai.

Memaafkan bukan berarti melupakan. Juga bukan membenarkan kesalahan orang lain. Tapi memaafkan berarti kita tidak mau menyiksa diri sendiri lebih lama lagi. Kita memilih untuk hidup lebih baik, lebih tenang.

Allah SWT berfirman:

“Dan barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)

Ini janji. Bahwa setiap upaya memaafkan, sekecil apapun, akan dibalas. Langsung oleh Allah. Dan itu cukup menjadi alasan bagi kita untuk mencoba.

Memaafkan tidak berarti kita kalah. Tapi justru sedang menang. Menang atas ego. Menang atas rasa sakit. Menang atas bisikan dendam.

Memaafkan tidak membuat masa lalu hilang. Tapi membuka peluang agar masa depan tidak terus dibayangi luka lama.

Dan pada akhirnya, kita semua layak mendapatkan ketenangan. Layak hidup dengan dada lapang. Dan itu semua dimulai dari keberanian untuk memaafkan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *