Ketua Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bachtiar Dwi Kurniawan mengungkap tiga aspek utama yang menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah.
“Tiga hal ini menjadi potret utama yang dapat menjelaskan identitas dan peran Muhammadiyah dalam dakwah Islam,” katanya dalam acara Baitul Arqam Komunitas yang diselenggarakan oleh MPKSDI PP Muhammadiyah di Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP), Kalasan, Yogyakarta, pada Rabu (19/2/2025),
Bachtiar lalu menegaskan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4. Ia menjelaskan:
“Pertama, Muhammadiyah adalah gerakan Islam. Kalau kita lihat Anggaran Dasar Muhammadiyah Pasal 4, dijelaskan Muhammadiyah adalah gerakan Islam dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar dan Tajdid, bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.”
Lebih lanjut, Bachtiar menyoroti bahwa Muhammadiyah memiliki pemahaman yang melampaui sekadar sistem keimanan dan ibadah ritual. Islam, dalam perspektif Muhammadiyah, bukan hanya soal kepatuhan pribadi kepada Allah, tetapi juga tentang bagaimana ajaran Islam menggerakkan individu dan masyarakat untuk berbuat kebaikan.
“Muhammadiyah meyakini Islam tidak sebatas pada sistem peribadatan yang mengatur ritual ibadah dan kepatuhan semata. Islam yang sebenar-benarnya adalah Islam yang menggerakkan. Islam yang tidak selesai dengan dirinya sendiri.”
Dalam pandangan Muhammadiyah, seorang Muslim tidak cukup hanya taat kepada Allah dalam lingkup ibadah ritual, tetapi juga harus memiliki kepedulian sosial. Seorang Muslim yang baik tidak akan tinggal diam ketika melihat penderitaan orang lain.
“Orang-orang Muhammadiyah bukan hanya mereka yang taat kepada Allah, tetapi juga mereka yang tidak bisa berdiam diri melihat orang lain kesulitan. Ketika melihat seseorang tak bisa bersekolah, mereka tidak diam. Ketika melihat orang tertimpa musibah, mereka tidak menutup mata.”
Bachtiar menekankan bahwa konsep Islam Wasatiyah (Islam moderat) yang dipegang Muhammadiyah adalah keseimbangan antara ritual ibadah kepada Allah dan peran sosial di masyarakat.
“Islam Wasatiyah itu bisa menggabungkan Islam secara ritual dan sosial. Kepada lingkungan juga harus soleh. Jika sudah seperti ini, maka Islam akan menjadi ajaran yang kompatibel dengan zaman.”
Sebaliknya, terlalu fokus pada aspek sosial tanpa memperhatikan ibadah juga bukanlah hal yang ideal. Ia mengingatkan bahwa keseimbangan harus tetap dijaga.
“Terlalu baik kepada masyarakat tetapi lupa kepada Allah juga tidak baik. Begitu pula, terlalu baik kepada tetangga tetapi lupa beribadah kepada Allah juga tidak baik. Keduanya harus berjalan beriringan.”
Aspek kedua yang menjadi ciri khas Muhammadiyah adalah gerakan dakwahnya yang berbasis Amar Ma’ruf Nahi Munkar. Bachtiar menggambarkan konsep ini dengan analogi burung yang memiliki dua sayap.
“Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar-nya Muhammadiyah ibarat dua sayap burung. Burung bisa terbang jika kedua sayapnya mengepak. Begitu pula dengan Islam, bisa berjalan dengan baik jika sayap Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar berfungsi seimbang.”
Muhammadiyah memandang bahwa dakwah tidak bisa hanya berfokus pada mengajak kepada kebaikan (Amar Ma’ruf), tetapi juga harus aktif dalam mencegah keburukan (Nahi Munkar). Kedua aspek ini saling melengkapi dan tidak dapat dipisahkan.
“Muhammadiyah dakwahnya Amar Ma’ruf Nahi Munkar dengan sistem yang terbaik.”
Pendekatan dakwah Muhammadiyah selalu dilakukan secara sistematis, bukan hanya dalam bentuk seruan moral, tetapi juga melalui aksi nyata seperti pendidikan, kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Terakhir, Bachtiar menekankan bahwa yang membedakan Muhammadiyah dari gerakan Islam lainnya adalah pendekatannya yang berbasis Tajdid atau pembaruan.
“Yang membedakan Muhammadiyah dengan yang lain adalah gerakan Tajdid.”
Tajdid dalam Muhammadiyah tidak hanya berarti inovasi, tetapi juga pemurnian ajaran Islam dari berbagai hal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Al-Qur’an dan As-Sunnah. Pembaruan ini dilakukan melalui tiga pendekatan utama, yaitu bayani (tekstual), burhani (rasional), dan irfani (spiritual).
“Muhammadiyah memahami Islam dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani.”
Pendekatan bayani merujuk pada pemahaman Islam yang berbasis teks-teks keagamaan. Sementara itu, pendekatan burhani menekankan pada aspek rasional dan ilmiah dalam memahami Islam. Adapun pendekatan irfani lebih menitikberatkan pada aspek spiritualitas dan pengalaman batin dalam menjalankan ajaran Islam.
Tiga pilar ini—Gerakan Islam, Dakwah Amar Ma’ruf Nahi Munkar, dan Tajdid—membentuk karakter Muhammadiyah sebagai organisasi yang tidak hanya berorientasi pada ibadah individual, tetapi juga aktif dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Muhammadiyah tidak hanya berusaha menjaga kemurnian ajaran Islam, tetapi juga mengimplementasikan Islam dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pendidikan, dan kemasyarakatan.
Dengan prinsip keseimbangan antara ibadah dan aksi sosial, Muhammadiyah terus berupaya menjadikan Islam sebagai ajaran yang relevan dan memberikan solusi bagi permasalahan umat di setiap zaman. (adit/tim)