Suasana Idulfitri 1 Syawal 1446 H yang penuh dengan semangat silaturahmi seharusnya menjadi momentum penguatan spiritual dan kemanusiaan. Di tengah kegembiraan tersebut, kita tidak boleh melupakan penderitaan yang tengah dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina.
Genosida yang dilakukan oleh tentara Israel di Gaza telah merenggut ribuan nyawa, menghancurkan bangunan-bangunan strategis, termasuk fasilitas umum dan pemukiman warga sipil, hingga rata dengan tanah.
Puing-puing bangunan menimbun tubuh tak berdosa yang tak berdaya, jeritan korban luka bercampur dengan duka yang dalam, dan air mata pun telah mengering karena terlalu sering menetes. Tubuh-tubuh yang kesakitan terus melemah karena minimnya bantuan makanan, minuman, dan obat-obatan.
Mesin pembunuh massal terus digerakkan untuk melancarkan aksi genosida di Gaza. Arogansi tentara yang didukung oleh pemimpin yang haus kekuasaan dan darah menjadikan akal dan nurani mereka tertutup. Otak mereka hanya dipenuhi pikiran untuk membunuh, sedangkan hati mereka dibalut oleh kegelapan.
Mereka menembaki warga Gaza secara membabi buta, bahkan berbangga diri ketika memanggul senjata dan mempertontonkan kebrutalan mereka sebagai sebuah pencapaian. Korban berjatuhan di jalanan, tubuh-tubuh terkapar, terkubur dalam reruntuhan bangunan.
Ketika keserakahan dan permusuhan menjadi landasan utama tindakan, maka kehancuran dan pembunuhan dijadikan alat pembenaran. Kecaman dari berbagai negara tak diindahkan.
Bahkan keputusan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk menangkap Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, sebagai penjahat kemanusiaan, seolah tak berarti.
Ia masih bebas berkunjung ke Amerika Serikat, negara sekutunya, dan bahkan diterima sebagai tamu kehormatan oleh Perdana Menteri Hungaria, Viktor Orbán. Ironisnya, Hungaria justru memilih keluar dari keanggotaan ICC agar tidak terikat untuk menangkap Netanyahu, menjadikannya satu-satunya negara Eropa yang secara terang-terangan mendukung pelanggaran hukum internasional.
Diplomasi lobi Yahudi begitu kuat, memainkan persepsi dunia hingga mengubah citra seorang penjahat menjadi pejabat terhormat. Dari aktor terorisme menjadi diplomat, dari ekstremis menjadi tokoh bangsa. Namun sesungguhnya, kebanggaan yang disandang adalah kehinaan, karena dibangun di atas penderitaan dan darah para syuhada Palestina.
Jaringan lobi Zionis Yahudi yang tersebar di berbagai negara terus berupaya menjadikan Israel sebagai kekuatan dominan, bahkan jika itu berarti menghapus Palestina dari peta dunia demi membentuk “Israel Raya”.
Gelombang demonstrasi masyarakat dunia yang menolak genosida di Gaza belum mampu menggoyahkan elit-elit Zionis Yahudi.
Mereka yang berdiaspora di berbagai negara tetap bersikukuh mempertahankan kepentingan kolonial mereka di tanah pendudukan Palestina. Klaim sepihak atas “Tanah yang Dijanjikan” dijadikan dalih teologis untuk menjustifikasi tindakan rasis dan dehumanisasi.
Spiritualitas yang seharusnya melahirkan moralitas justru dijadikan tameng untuk menutupi ambisi jahat. Ketika moral kemanusiaan runtuh, maka kegelapan spiritual menjadikan pembunuhan, pembantaian, dan penghancuran nilai-nilai kemanusiaan sebagai misi suci.
Penafsiran teologis yang sepihak dan bias menjadikan nilai-nilai kemanusiaan universal tidak lagi dianggap penting. Doktrin rasis Zionis Yahudi terus diperjuangkan, meski harus ditegakkan di atas tumpukan jenazah rakyat Palestina.
Doktrin yang dibangun dengan melanggar prinsip-prinsip kemanusiaan sejatinya merusak peradaban. Ia menciptakan suasana permusuhan dan peperangan, dengan praktik teror, penyiksaan, dan pembantaian massal.
Moral kemanusiaan sejatinya adalah bentuk kesadaran luhur untuk membangun persaudaraan, menyebarkan kasih sayang, dan menciptakan perdamaian. Namun ketika moral itu runtuh, yang muncul justru kepuasan membantai, menindas, dan menguasai.
Runtuhnya moral kemanusiaan membuat seseorang merasa lebih unggul dari yang lain, hingga merasa berhak menindas dan membantai.
Padahal, spiritualitas sejati seharusnya menumbuhkan cinta kasih, empati, dan keadilan. Pembunuhan terhadap sesama bukanlah sebuah prestasi, melainkan bentuk kehinaan.
Genosida di Gaza adalah bukti nyata keruntuhan moral kemanusiaan dan matinya spiritualitas. Kesombongan, keserakahan, dan pembunuhan adalah bentuk paling brutal dari kejahatan peradaban.
Namun di tengah penderitaan itu, kita menyaksikan cahaya spiritual warga Gaza yang tak pernah padam. Di balik dentuman bom dan asap mesiu, mereka tetap teguh melakukan perlawanan. Meski tidak seimbang dari sisi kekuatan militer, namun semangat perjuangan mereka tidak pernah surut.
Di saat kumandang takbir, tahlil, dan tahmid menggema sebagai penanda datangnya Idulfitri 1 Syawal 1446 H, umat Islam merayakan kemenangan setelah menahan hawa nafsu selama Ramadan.
Namun bagi warga Palestina, justru saat itulah mereka mengalami serangan paling brutal. Duta Besar Ibrahim Khraishi, perwakilan tetap Palestina untuk PBB di Jenewa (2 April 2025), mengecam keras agresi militer Israel yang telah berlangsung selama 18 bulan dan menewaskan lebih dari 170.000 orang, sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan.
Ia juga mengecam kebijakan kelaparan yang disengaja, penolakan terhadap bantuan kemanusiaan, penghancuran infrastruktur, dan pelanggaran terhadap kesepakatan gencatan senjata.
Momentum Idulfitri seharusnya menjadi panggilan nurani bagi seluruh umat manusia untuk meneguhkan spirit perjuangan, menyuarakan perdamaian, dan mengutuk keras tindakan genosida Israel sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan. (*)