Menghadapi Dampak Digital: Ancaman Judi Online dan Pinjaman Ilegal

Menghadapi Dampak Digital: Ancaman Judi Online dan Pinjaman Ilegal

*) Oleh: Dedi Irwansyah
Ketua Komisi A DPRD Jatim dan Fungsionari FOKAL IMM

Kemajuan teknologi digital semakin menyatu dengan kehidupan masyarakat, tetapi di balik itu muncul ancaman kerentanan sosial yang serius. Di Indonesia, berbagai permasalahan muncul sepanjang tahun, mulai dari pinjaman online ilegal, judi daring, investasi bodong, penyebaran hoaks, hingga berbagai bentuk penipuan lainnya.

Dampak dari fenomena ini sering kali berujung pada kekacauan sosial, seperti meningkatnya angka depresi, perusakan fasilitas umum—seperti yang terjadi dalam kasus “koin jagat”—hingga kasus bunuh diri. Media digital memiliki kekuatan untuk “menyihir” seseorang hingga kehilangan rasionalitasnya.

Data dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam) pada tahun 2024 mencatat bahwa 8,8 juta warga Indonesia terlibat dalam judi online.

Sebanyak 80 persen di antaranya berasal dari kelompok masyarakat menengah ke bawah dan kalangan anak muda. Data lebih rinci dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa Jawa Timur menempati peringkat keempat dalam jumlah pemain judi online, dengan nilai transaksi mencapai Rp1,051 triliun.

Selain kerugian ekonomi, judi online juga berkontribusi pada kerusakan tatanan sosial, memicu kasus bunuh diri, perceraian, pembunuhan, serta berbagai fenomena sosial lainnya.

Melihat dampak yang semakin luas, langkah apa yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir dampak negatif dari perjudian daring dan pinjaman ilegal ini?

Gelembung Imajinatif dan Risiko Sosial

Era digital membawa kita ke dalam sebuah ekosistem media yang tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga membentuk persepsi dan imajinasi sosial. Dalam banyak kasus, dunia digital menawarkan gambaran tentang kesetaraan, kekayaan, dan kemakmuran. Namun, pada kenyataannya, citra tersebut sering kali tidak sesuai dengan realitas dan justru memperparah kerentanan sosial.

Agus Sudibyo (2021) menegaskan bahwa algoritma platform digital tanpa disadari menciptakan “gelembung isolatif” yang mengurung penggunanya dalam lingkungan yang hanya berisi orang-orang dengan pandangan, identitas, orientasi ekonomi, atau gaya hidup yang serupa.

Dalam banyak kasus, platform pinjaman dan judi online membangun harapan palsu tentang kemudahan mendapatkan keuntungan instan. Imaji tentang kekayaan dan penghasilan besar yang cepat disuntikkan secara terus-menerus menyebabkan banyak orang terobsesi, kehilangan daya kritis, dan terjebak dalam lingkaran kecanduan yang sulit dihentikan.

Ketika harapan tersebut tidak tercapai, kekecewaan besar sering kali berujung pada stres berat, depresi, dan bahkan tindakan bunuh diri. Fenomena ini menunjukkan bahwa platform digital bukan sekadar alat komunikasi atau hiburan, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat secara masif.

Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus (2016) memperkenalkan konsep digital dictatorship, yaitu kekuatan algoritma yang mampu mengendalikan preferensi, pola pikir, dan tindakan manusia melalui sistem yang bekerja secara otomatis di perangkat digital. Harari menegaskan bahwa otak manusia bisa “diretas” oleh algoritma, yang menentukan apa yang kita lihat, baca, dan bahkan sukai.

Selain membentuk pola pikir, platform digital juga memiliki kemampuan pengawasan yang masif terhadap penggunanya. Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (Mendoza, 2022) menjelaskan beberapa aspek penting mengenai pengawasan digital:

  1. Era Big Data memungkinkan pihak tertentu memiliki kemampuan pengawasan yang jauh lebih canggih dibandingkan lembaga negara atau institusi resmi mana pun.
  2. Pengawasan ini bukan dilakukan oleh lembaga pemerintah, melainkan oleh korporasi digital yang mengendalikan platform media dan layanan daring.
  3. Tujuan utama pengawasan bukan semata-mata untuk alasan keamanan, melainkan kepentingan ekonomi—data pengguna dijual untuk kepentingan bisnis.
  4. Pengawasan tidak hanya menyasar kelompok tertentu, tetapi hampir semua pengguna internet.
  5. Tujuan utama pengumpulan data ini adalah eksploitasi perilaku pengguna untuk keperluan iklan dan manipulasi preferensi konsumen.

Pengawasan ini dilakukan dengan perangkat yang dimiliki hampir semua orang, yaitu ponsel pintar.

Fakta ini menunjukkan bahwa dalam dunia digital, kita bukan hanya pengguna, tetapi juga produk yang dieksploitasi oleh korporasi digital.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *