Rempang dan Neo-Kolonialisme
Anggota Brimob Polda Kepri yang tergabung dalam Tim Terpadu membersihkan pemblokiran jalan yang dilakukan oleh warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. foto: antara/teguh prihatna

Kasus penggusuran tanah di wilayah Rempang secara tersurat ingin membuka investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, namun secara tersirat membuka jalan terjadinya penjajahan (neo-kolonialisme) modern.

Hal ini ditunjukkan oleh pernyataan sejumlah elite yang gigih memuluskan Proses Strategis Nasional (PSN). Mahfud MD selaku Menkopolhukam mengatakan bahwa apa yang terjadi di Rempang bukan penggusuran tapi pengosongan.

Kemudian diperkuat oleh Presiden Jokowi yang berpesan kepada Kapolri untuk mencopot Kapolda yang tidak sanggup mengamankan investasi. Lebih tegas lagi, Luhut Binsar Panjaitan, Menko bidang Kemaritiman dan Investasi, siap membuldoser yang menghalangi investasi.

Bahkan Panglima TNI Laksamana Yudi Margono mengirim pasukan untuk memiting para penentang investasi.

Deretan pernyataan di atas menunjukkan bahwa kasus Rempang merupakan bentuk neo-kolonialisme dimana memaksa penduduk lokal untuk meninggal tanah kelahirnnya agar proyek investasi berjalan lancar.

Ancaman Kolonialisme

Untuk memuluskan jalan investasi guna mengupayakan peningkatan kualitas hidup masyarakat, negara memaksa masyarakat Rempang untuk meninggalkan tanah kelahirannya.

Untuk mengakselerasi kebijakan itu, beberapa elite negara mengeluarkan pernyataan yang memaksa masyarakat untuk segera meninggalkan segala properti miliknya. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan elite politik.

Seperti dilansir cnnindonesia.com, Kamis (7/9/2023), MenkoPolhukam Mahfud MD yang menegaskan bahwa bentrokan yang terjadi antara aparat gabungan TNI-Polri dengan warga Pulau Rempang, Batam bukan imbas dari upaya penggusuran, melainkan pengosongan lahan oleh pemegang hak.

Mahfud menjelaskan bahwa pada 2001-2002, negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan berupa hak guna usaha.

Sebelum investor masuk, tanah tersebut rupanya belum digarap dan tak pernah dikunjungi. Kemudian, pada 2004 dan seterusnya menyusul dengan beberapa keputusan, tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menegaskan Pemerintah Indonesia tengah mendorong peningkatan investasi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Presiden memerintahkan Kapolri, Jenderal  Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk mengawal kegiatan penanaman modal dari sisi keamanan.

Pengawalan investasi menjadi bagian dari agenda besar negara. Kemudian, Jokowi juga menginstruksikan Kapolri agar tidak segan-segan mencopot kepala kepolisian daerah yang tidak mengawal investasi, seperti dirilis monitorindonesia.com, Sabtu (9/9/2023).

Sementara itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, siap membuldoser orang yang menghalangi investasi di Indonesia. Dalam berita itu, Luhut bahkan menantang siapa pun yang merusak reputasi tersebut berhadapan dengannya.

“Dengan segala kemampuan yang ada pada saya, saya pasti ‘buldoser’. Jadi jangan bapak dan ibu sekalian ada yang menghambat izin,” ungkap Luhut.

Selain itu, Luhut juga menekankan jangan sampai ada yang berani untuk melanggar aturan demi kepentingan pribadi. Sebab, sesuai arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) iklim investasi Indonesia harus tetap dijaga agar menarik di mata investor.

Yang terbaru, pernyataan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang mengatakan kesiapan TNI akan mengirim jumlah pasukan sebanyak rakyat yang melakukan demonstrasi.

“Andai ada seribu pendemo, maka akan dikirim seribu prajurit TNI. Satu tentara bisa piting satu rakyat yang demo sehingga selesailah perkara,” katanya sepeti dikutik di. tvonenews.com, Jumat (15/9/2023.

Kalimat ini merupakan ancaman bagi para demonstran agar tidak melakukan aksi perlawanan di Rempang.

Invasi Terbuka

Pernyataan beberapa elite rezim ini menunjukkan bahwa investasi merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang harus diamankan dan berjalan dengan baik.

Hal ini tidak lain sebagai upaya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara. Namun dalam praktiknya, telah terjadi pengusiran warga yang telah menempati wilayah ini secara turun temurun.

Sementara tidak sedikit di antara penduduk yang memiliki sertifikat tanah, dan ini menunjukkan keaslian mereka sebagai penduduk legal.

Hal ini jelas berbeda dengan pernyataan Mahfud MD yang menyatakan bahwa kejadian Rempang merupakan pengosongan bukan penggusuran. Tidak dikatakan penggusuran, itu pun dengan alasan pada 2001-2002, negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan berupa hak guna usaha.

Padahal masyarakat Rempang sudah menempati ratusan tahun sebelum memberikan kepada perusahaan asing untuk membuka usaha. Artinya, rakyat Rempang yang sudah menempati harus digusur oleh mereka yang baru saja menerima surat mandat.

Apa yang disampaikan Mahfud tidak lepas dari upaya untuk mengamankan pesan Jokowi yang menginginkan investasi berjalan dengan baik. Apalagi Jokowi secara terbuka meminta Kapolri untuk mencopot Kapolda yang tidak mampu mengawal kebijakan investasi.

Bahkan sebelumnya, Luhut Binsar Panjaitan memastikan akan membuldozer siapapun yang menghalangi PSN ini.

Dengan membuldozer siapapun yang menghalangi proyek ini sama saja menghalalkan darah siapapun yang berkeratan terhadap proyek yang mengatasnamakan investasi.

Terlebih lagi, penegasan Panglima TNI siap memiting rakyat yang melakukan demonstrasi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa fungsi TNI telah bergeser dari “Tentara Rakyat” menjadi ‘Tentara Melawan Rakyat.”

Dengan mengeluarkan personel yang sesuai dengan jumlah pendemo menghalalkan aksi kekerasan yang dilakukan TNI kepada rakyatnya.

Kalau selama ini TNI dikenal sebagai pembela rakyat, mulai dari masa perjuangan merebut kemerdekaan, maka saat ini TNI sudah bergeser menjadi alat kekuasaan untuk menggusur rakyat yang dianggap sebagai penjahat negara.

Rakyat Rempang merupakan masyarakat biasa yang tidak dipersenjatai, namun semua perngkat dan aparat keamanan negara diturunkan secara massif untuk mengamankan proyek investasi.

Padahal dalam kenyataan, publik melihat bahwa negara telah memberi peluang kepada negara lain untuk melakukan invasi.

Dikatakan invasi karena memaksa penduduk untuk pindah dan meninggalkan yang telah menjadi denyut nadi dan nafas yang telah berjalan secara turun temurun.

Kalau nenek moyang Rempang, dahulu mengusir penjajah dari aneksasi tanah Rempang, maka saat ini pewarisnya harus diusir oleh negaranya sendiri dengan dalih investasi. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini