Kisah Ma’iz bin Malik adalah salah satu contoh nyata tentang bagaimana Rasulullah saw mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga aib orang lain.
“Kisah ini menggambarkan pentingnya menjaga aib orang lain dan memiliki empati,” kata Fajar Rachmadhani dalam Kajian Ahad Pagi di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan, Ahad (5/11/2023)
Dalam cerita tersebut, Ma’iz bin Malik datang kepada Rasulullah dan mengaku telah berzina. Meskipun Ma’iz mengungkapkan kesalahannya dengan jujur, Rasulullah tidak langsung menghukumnya.
Sebaliknya, beliau bertanya dengan penuh perhatian tentang rincian perbuatan Ma’iz. Ketika Ma’iz mengulangi pengakuannya empat kali, Rasulullah saw menanyakan lebih banyak rincian tentang perbuatan tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk berhati-hati dalam mengambil tindakan tegas dan hukuman yang serius, dan selalu memberikan kesempatan bagi pertobatan.
Namun, ketika hukuman akhirnya diberikan, yaitu hukuman rajam, Rasulullah juga menunjukkan belas kasih dan kepedulian.
Ketika Ma’iz berkeluh-kesah selama hukuman rajam hingga ia meninggal dunia. Rasulullah SAW menyatakan keprihatinannya dan bertanya kepada Abdullah bin Unais:
“Tidakkah kamu membiarkannya, kemungkinan dia bertaubat, lalu Allah menerima taubatnya!?” (HR. Abu Daud, no. 4419. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan dalam Irwa’ Al-Ghalil, 7:357).
Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Yogyakarta ini, kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga aib dan perasaan orang lain.
Rasulullah tidak hanya menjalankan hukum, tetapi juga memberikan perhatian dan empati kepada individu yang berdosa.
Ini adalah pengingat bahwa dalam Islam, pertobatan selalu merupakan pilihan yang ada, dan kita harus memberikan peluang kepada orang lain untuk bertobat dan mendapatkan pengampunan Allah.
Selain itu, Fajar juga menyampaikan kisah lain yang semakin menguatkan tentang bagaimana Rasulullah menjaga aib dan perasaan orang lain.
Dalam kisah tersebut, seorang perempuan Ghamidiyah datang kepada Rasulullah SAW dan mengaku telah berzina.
Awalnya, Rasulullah SAW tidak merespons pengakuannya. Namun, perempuan tersebut tidak menyerah dan kembali keesokan harinya dengan keyakinan yang kuat dalam pertobatan. Baru pada saat itulah Rasulullah SAW menerima pengakuannya.
Setelah perempuan Ghamidiyah mengakui perbuatannya, Nabi Muhammad SAW pertama-tama memerintahkan agar perempuan tersebut pulang dan menjalani kehamilannya sampai ia melahirkan bayinya.
Setelah melahirkan, perempuan tersebut kembali kepada Nabi Muhammad SAW dengan membawa bayinya yang baru lahir. Nabi Muhammad SAW kemudian memberikan pedoman selanjutnya, yaitu untuk menyusui dan merawat bayinya sampai bayi tersebut disapih.
Setelah dua tahap tersebut, hukuman rajam kemudian dijalankan. Saat hukuman hendak dijalankan, terjadi kejadian yang membuat Khalid bin Walid marah.
Darah dari hukuman tersebut mencemari wajahnya, dan dia mengutuk perempuan tersebut. Tapi Nabi Muhammad SAW dengan tegas menegur Khalid dan memintanya untuk bersikap tenang.
Rasulullah Saw bersabda: “Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi zat yang jiwaku berada di tangan- Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertobat, sekiranya tobat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku dosa besar niscaya dosanya akan diampuni.”
Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya.” (HR. Muslim 3208).
Menurut Fajar, dua kisah di atas mengajarkan kepada kita pentingnya menjaga aib orang lain, memberikan peluang untuk pertobatan, dan menunjukkan rahmat dan pengampunan, yang merupakan bagian dari Sunah Rasulullah SAW dalam berinteraksi dengan sesama.
Fajar kemudian menyampaikan agar jangan menuduh orang lain berzina. Seseorang yang menuduh zina orang lain mesti mengajukan bukti-bukti yang kuat dan secara spesifik cukup berbelit.
Karena zina merupakan dosa besar, maka menyebar berita bohong bahwa orang lain telah berbuat zina, juga termasuk dosa besar. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News