Dalam memahami prinsip wakaf, umat Islam perlu memahami esensi harta sebagai objek wakaf (mauquf). Islam tidak hanya melihat harta sebagai sekadar benda mati, melainkan sebagai entitas yang melibatkan aspek psikis manusia, yaitu cinta (hubb) dan gandrung (mailah). Sebagai hasilnya, harta dalam pandangan Islam adalah benda yang dicintai dan digandrungi oleh manusia.
Dalam Islam, pengkajian terhadap harta dapat dibagi menjadi dua aspek utama: pertama, dalam konteks status hukumnya, yakni apakah suatu benda dapat diizinkan untuk digunakan atau dikonsumsi; dan kedua, benda-benda yang dilarang digunakan atau dikonsumsi karena sifat atau substansi benda tersebut (haram lidzatih), serta melibatkan proses perolehan, investasi, atau pengelolaan, dan cara konsumsinya (haram li ghairih).
Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (17/1/2024), Pakar Ekonomi Islam Jaih Mubarok yang juga merupakan Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah mengatakan, Islam mengklasifikasikan harta menjadi tujuh macam. Pertama, harta yang boleh dimanfaatkan (mutaqawwam) dan yang tidak boleh dimanfaatkan (ghair al-mutaqawwam), sering kali diartikan sebagai benda berharga dan benda tidak berharga menurut syariah.
Kedua, benda yang memiliki padanan (mal-mitsli) atau dapat dengan mudah ditemukan di pasar atau masyarakat umum, dan benda yang tidak memiliki padanan (mal-qimi).
Ketiga, Islam membedakan antara benda bergerak dan benda tidak bergerak. Keempat, antara benda yang tidak dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan (mal-istihlaki) dan benda yang tidak habis karena dipakai (mal-isti‘mali). Misalnya, uang, sebagai jenis harta yang bisa dihabiskan, menghadapi pandangan beragam dari ulama, dengan ulama klasik berpendapat bahwa uang tidak bisa diwakafkan. Sedangkan ulama kontemporer memberikan pandangan yang berbeda dengan berbagai argumentasi.
Kelima, ada perbedaan antara benda yang ditetapkan otoritas sebagai standar harga/standar nilai/uang dan benda yang ditetapkan sebagai barang. Keenam, terdapat perbedaan antara benda yang tampak yang bisa dilihat baik oleh pemiliknya maupun oleh pihak lain (mal-zhahir), dan benda yang tidak tampak yang hanya bisa dilihat oleh pemiliknya (mal-bathin), seperti saham dan emas.
Ketujuh, Islam membedakan antara benda yang tumbuh dan berkembang secara alamiah (mal-nami), seperti pohon dan hewan ternak, dan benda yang tidak tumbuh dan tidak berkembang secara alamiahnya (mal-ghair al-nami).
Dengan memahami keragaman harta sebagai objek wakaf dalam Islam, kita dapat lebih mengetahui dalam mengenali nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang melandasi praktik wakaf. Hal ini memberikan landasan yang kuat bagi umat Islam untuk melibatkan diri dalam upaya pemberdayaan sosial dan keberlanjutan melalui institusi wakaf. (*/tim)
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News