Meraih Kemenangan Dunia dan Akhirat
Slamet Muliono Redjosari di Makkah. foto: dok/pri
UM Surabaya

Alquran merupakan kitab petunjuk dalam meraih kemenangan dunia dan akhirat. Untuk mendapatkan petunjuk, manusia harus membuka hati dengan lapang selapang-lapangnya.

Artinya, hatinya tanpa ragu sehingga mudah menerima apa pun yang termaktub di dalam Alquran, dan hal ini akan berujung kemenangan dan keberuntungan.

Percaya Akhirat

Petunjuk yang ada di dalam Alquran semuanya mengarahkan manusia untuk meyakini adanya akhirat. Dengan percaya akhirat, manusia mudah diarahkan untuk berbuat baik.

Alquran secara tegas menunjukkan bahwa orang yang mendapatkan petunjuk akan mendapatkan keberuntungan. Petunjuk itu hanya didapat dengan mempercayai isi Alquran secara total dan meyakini adanya akhirat.

Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya:

وَا لَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَاۤ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَاۤ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ ۚ وَبِا لْاٰ خِرَةِ هُمْ يُوْقِنُوْنَ

“Dan mereka yang beriman kepada (Alquran) yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan (kitab-kitab) yang telah diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya akhirat.” (QS. Al-Baqarah : 4)

Gagalnya Abu Jahal mendapatkan petunjuk karena sejak awal menolak adanya akhirat.

Menolak akhirat sama saja menolak datangnya petunjuk. Semua petunjuk yang datang dipandang sebagai kebohongan sehingga senantiasa mendustakan apa pun yang disampaikan Nabi Muhammad kepadanya.

Padahal menerima petunjuk dengan lapang dada, sama saja mendorong dirinya untuk berbuat baik. Perbuatan baik yang sesuai petunjuk akan mengarahkan dirinya untuk membuka pintu-pintu kebaikan yang lain. Dengan membuka pintu-pintu kebaikan akan meraih keberuntungan.

Hal ini ditegaskan Allah sebagaimana firman-Nya :

اُولٰٓئِكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah : 5)

Kegagalan Akal

Penolakan terhadap Alquran berawal dari keyakinan mengandalkan hanya kepada akal. Betapa tidak, pada saat itu para pembesar Quraisy sedang dalam puncak kekuasaan dan kenikmatan.

Dikatakan di puncak kekuasaan karena menguasai seluruh aset ekonomi dan politik serta sebagai pemegang otoritas penuh dalam mewarnai budaya.
Menguasai tiga aset inilah yang membuat mereka hidup dalam puncak kenikmatan.

Dalam situasi seperti, datangnya seseorang yang mengaku Nabi dan rasul. Dikenal jujur dan dan amanah, namun terlahir tanpa memiliki bapak, hidup miskin, dan tak mengenal huruf (ummi).

Dia mengingatkan pada para pembesar untuk bersyukur atas kenikmatan yang telah Allah anugerahkan pada mereka, dan menasihati untuk mengingat kebesaran-Nya. Bahkan rasul itu dengan meyakinkan akan bisa menaklukkan kekuatan dua imperium, Romawi dan Persia bila beriman kepadanya.

Alih-alih mendengarkan, mereka justru mengolok-olok dan menuduh sebagai manusia kurang akal.

Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya :

وَاِ ذَا قِيْلَ لَهُمْ اٰمِنُوْا كَمَاۤ اٰمَنَ النَّا سُ قَا لُوْاۤ اَنُؤْمِنُ كَمَاۤ اٰمَنَ السُّفَهَآءُ ۗ اَ لَاۤ اِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَآءُ وَلٰـكِنْ لَّا يَعْلَمُوْنَ

“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Berimanlah kamu sebagaimana orang lain telah beriman!” Mereka menjawab, “Apakah kami akan beriman seperti orang-orang yang kurang akal itu beriman?” Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang kurang akal, tetapi mereka tidak tahu.” (QS. Al-Baqarah : 13)

Atas hinaan itu, Allah pun berbalik menghina mereka dan mengatakan merekalah yang kurang berakal.

Mereka dikatakan sebagai orang yang kurang berakal karena nanti mereka bakal binasa beserta kekuasaannya. Terbukti dalam sejarah, sebagian para pembesar Quraisy mati terhina di Perang Badar.

Andai kata berakal, mereka akan beriman dan kekuasaan mereka semakin kokoh dengan menundukkan Romawi dan Persia. (*)

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini