I'tikaf, Masa Lalu, dan Masa Kini
foto: istockphoto
UM Surabaya

*) Oleh: Al-Faiz MR Tarman,
Dosen Universitas Muhammadiyah Klaten

Apa yang sesungguhnya menjadi dasar, barangkali bermula dari hadis-hadis berikut. Tentang bagaimana kaitan antara iktikaf dan “menghidupkan malam” pada akhir Ramadan.

“Barangsiapa beribadah (menghidupkan) bulan Ramadan dengan iman dan mengharap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu,” (HR. Bukhari dan Muslim).

Atau pada hadis lain:

“Dari ‘Aisyah ra., ia berkata, “Rasulullah saw. biasa ketika memasuki 10 Ramadan terakhir, beliau mengencangkan sarungnya, menghidupkan malam-malam tersebut dengan ibadah, dan membangunkan istri-istrinya untuk beribadah.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam buku Kontemplasi Ramadan, Nasaruddin Umar memahami i’tikaf sebagai sikap ‘uzlah (pemisahan diri) sementara dari hiruk pikuknya pikiran ke sebuah tempat yang sejuk dan nyaman. Di dalamnya diisi dengan membaca Al-Qur’an, salat, tafakur (perenungan) dan berzikir.

Setengah dekade lalu, iktikaf sebagai sebentuk ibadah pada sepuluh malam terakhir Ramadan masih relatif sederhana.

Masjid-masjid yang tak mematikan lampu utamanya setelah tarawih, beberapa di antaranya sengaja redup.

Serta para para ibad al-rahman yang mencari posisi yang dianggapnya nyaman, berjarak dengan orang lain dengan menenteng tas berisi Al-Qur’an dan buku-buku pilihannya.

Suara-suara lantunan ayat suci yang dibacakan dengan nada yang lirih, suara lutut yang bertemu dengan tanah saat hendak lakukan sujud salat sunah.

Suasana begitu tenang dan nyaman berkontemplasi pada sela zikir dan membaca kitab suci. Hidupnya malam saya rasa demikian.

Terkadang saya membuka catatan lalu menulis outline tulisan dari ide-ide yang tiba-tiba muncul saat perenungan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini