Teladan Pengampunan Nabi Muhammad SAW di Tengah Badai Kebencian
foto: istock
UM Surabaya

Tiga peristiwa besar yang terjadi dalam hidup Nabi Muhammad saw pada bulan Rabiul Awal – kelahiran, hijrah, dan wafat – menjadi momen-momen yang tak terlupakan dalam sejarah Islam.

Namun, di balik semua itu, keteguhan Nabi saw dalam menghadapi rintangan kehidupan adalah teladan abadi yang tidak hanya menginspirasi umat Muslim, tetapi juga seluruh umat manusia.

Ketika beliau pertama kali mendakwahkan Islam secara terbuka di Makkah, para pengikut awal Islam segera menghadapi ujian berat.

Mereka harus siap menanggung penyiksaan fisik, pengucilan sosial, hingga ancaman kematian. Sejarah mencatat bagaimana kaum Muslimin yang berani mendeklarasikan iman kepada Allah dianiaya dengan kekejaman yang tak terbayangkan.

Salah satu contoh yang menyayat hati adalah Khabbab ibn al-Aratt, yang dilemparkan ke bara api hingga dagingnya terbakar. Tragedi semacam ini menjadi bagian sehari-hari bagi mereka yang berjuang untuk mempertahankan iman mereka.

Di bawah terik matahari yang membakar, para sahabat Nabi disiksa dengan batu-batu panas yang ditempatkan di atas tubuh mereka. Meskipun menderita secara fisik, iman mereka tetap tak tergoyahkan.

Tidak hanya para sahabat yang menjadi korban, Nabi Muhammad saw sendiri sering menjadi target kebencian kaum Quraisy. Serangan fisik dan penghinaan terbuka sering kali dialami oleh beliau.

Salah satu peristiwa yang memilukan adalah ketika Abu Jahl menumpahkan isi perut unta ke tubuh Nabi saat beliau bersujud di depan Ka’bah, sebuah tindakan penghinaan publik yang ditujukan untuk merendahkan beliau.

Namun, Nabi Muhammad saw selalu menunjukkan keteguhan akhlak yang luar biasa. Beliau tidak pernah membalas kekerasan dengan kekerasan, melainkan dengan kasih sayang dan kelembutan, bahkan terhadap mereka yang paling keras memusuhinya. Sebagai contoh,

Nabi SAW pernah berdoa agar Allah memberikan hidayah kepada dua tokoh yang paling keras menentang Islam, yaitu Abu Jahl dan Umar ibn al-Khattab.

Meskipun doa tersebut dikabulkan Allah hanya untuk Umar, doa ini menggambarkan betapa besar hati Nabi dalam menghadapi musuh-musuhnya.

Kasih sayang Nabi saw juga tampak dalam berbagai kesempatan. Ketika memiliki kekuasaan sebagai pemimpin di Madinah, beliau bisa saja membalas dendam terhadap orang-orang yang pernah menyakitinya.

Namun, beliau memilih jalan keadilan dan rahmat. Salah satu contoh adalah ketika Nabi menegur istrinya, ‘Aisyah, yang marah kepada sekelompok Yahudi yang menghina beliau. Nabi SAW bersabda, “Allah itu Maha Lembut dan mencintai kelembutan dalam segala hal.”

Ketika terluka parah dalam Perang Uhud, dengan gigi patah dan darah mengalir dari wajahnya, Nabi saw tetap mendoakan musuhnya: “Ya Allah, ampunilah kaumku, karena mereka tidak tahu.” Para sahabat yang melihat kondisi Nabi meminta beliau untuk mengutuk musuhnya, namun beliau menolak dan berkata, “Aku diutus bukan sebagai tukang kutuk, melainkan sebagai rahmat.”

Pengampunan Nabi saw juga tampak dalam perlakuannya kepada Hind bint ‘Utbah, seorang wanita yang merekrut Wahsyi untuk membunuh paman beliau, Hamzah. Ketika Hind menyerah dan memeluk Islam, Nabi SAW menyambutnya dengan keramahan dan berkata, “Selamat datang, wahai Hind.”

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa sepanjang hidupnya, Nabi Muhammad SAW tetap teguh pada prinsip rahmat, keadilan, dan pengampunan.

Bahkan dalam menghadapi kekejaman yang paling ekstrem, beliau mengajarkan bahwa kasih sayang lebih kuat dari kebencian, dan pengampunan lebih mulia daripada balas dendam.

Melalui akhlak beliau yang luhur, Nabi SAW memberikan teladan abadi bagi seluruh umat manusia. (*/tim)

Referensi:

Abū Nu‘aym, Aḥmad ibn ‘Abdillāh al-Iṣbahānī. Ḥilyat al-Awliyā’ wa Ṭabaqāt al-Aṣfiyā’. Egypt: Maṭba‘at al-Sa‘ādah, 1974.

al-Bukhārī, Muḥammad ibn Ismā‘īl. Ṣaḥīḥ al-Bukhārī. Edited by Zuhayr ibn Nāṣir. Beirut: Dār Ṭawq al-Najāh, 2002.

Muslim ibn al-Ḥajjāj al-Qushayrī. Ṣaḥīḥ Muslim. Edited by Muhạmmad Fu’ād ‘Abdul-Bāqī. Beirut: Dār Iḥyā’ al-Kutub al-‘Arabīyah, 1955.

al-Tirmidhī, Muḥammad ibn ‘Īsá. Sunan al-Tirmidhī. Edited by Bashshār ‘Awwād Ma‘rūf. Beirut: Dār al-Gharb al-Islāmī, 1998.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini