Empat Tipologi Orang Yang Tahu
UM Surabaya

*)Oleh: Bahrus Surur-Iyunk
Alumnus Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan, Guru SMAM I Sumenep

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, karya monumental Imam Al-Ghazali, ada sebuah kutipan bijak yang dinisbatkan kepada Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, seorang ulama besar dalam ilmu bahasa dan sastra Arab. Khalil bin Ahmad menyampaikan bahwa ada empat golongan manusia berdasarkan pengetahuan dan kesadaran akan pengetahuannya. Ungkapan ini kemudian dikutip oleh Imam Al-Ghazali untuk menggambarkan betapa pentingnya memahami posisi kita dalam ilmu dan kesadaran akan ilmu itu sendiri.

Kata Khalil bin Ahmad,  “Ada orang yang tahu bahwa dia tahu, itulah orang yang berilmu, maka ikutilah dia. Ada orang yang tidak tahu bahwa dia tahu, itulah orang yang sedang tidur, maka bangunkanlah dia. Ada juga orang yang tahu bahwa dia tidak tahu, itulah orang yang bijak, maka ajarilah dia. Dan, ada orang yang tidak tahu bahwa dia tidak tahu, itulah orang yang bodoh, maka jauhilah dia.”

Orang yang Tahu Bahwa Dia Tahu (وَهُوَ يَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي)

Golongan pertama adalah orang yang sadar akan pengetahuannya. Mereka adalah para ulama dan cendekiawan yang tidak hanya memiliki ilmu, tetapi juga tahu bahwa mereka memilikinya. Kesadaran ini menjadikan mereka sebagai sumber pengetahuan yang dapat dipercaya dan diikuti. Orang-orang ini memiliki tanggung jawab besar untuk menyebarkan ilmu mereka dan membimbing orang lain menuju kebenaran.

Orang yang masuk dalam golongan ini adalah pribadi yang rendah hati dalam ilmunya, tidak sombong, dan senantiasa mengamalkan ilmunya untuk kemaslahatan umat. Imam Al-Ghazali menjadikan mereka sebagai contoh yang patut diikuti, karena mereka tidak hanya mengetahui ilmu, tetapi juga memahami esensinya dan menyadari tanggung jawab besar yang datang bersamanya.

Orang yang Tidak Tahu Bahwa Dia Tahu (وَهُوَ لَا يَدْرِي أَنَّهُ يَدْرِي)

Golongan kedua adalah orang yang sebenarnya memiliki pengetahuan, namun ia tidak sadar akan kemampuan dan potensi dirinya. Mereka seperti orang yang sedang tertidur, yang perlu dibangunkan dan disadarkan. Sering kali, mereka adalah orang-orang yang kurang percaya diri atau tidak menyadari bahwa ilmu yang mereka miliki berharga.

Tugas kita adalah membangunkan dan menyadarkan mereka dari “tidurnya”, agar mereka dapat menyadari pengetahuan yang telah mereka pelajari dan memanfaatkannya dengan baik. Golongan ini memerlukan bimbingan dan dorongan, serta lingkungan yang dapat membantu mereka menyadari potensi ilmu yang ada dalam diri mereka. Membangkitkan kesadaran ini adalah salah satu peran penting seorang guru atau mentor.

Orang yang Tahu Bahwa Dia Tidak Tahu (وَهُوَ يَدْرِي أَنَّهُ لَا يَدْرِي)

Golongan ketiga adalah orang yang bijaksana. Meskipun mereka tidak memiliki banyak ilmu, mereka tahu dan sadar akan ketidaktahuan mereka. Kesadaran ini menunjukkan kerendahan hati dan keinginan untuk belajar. Orang seperti ini sangat terbuka untuk menerima pengetahuan baru dan memiliki sikap yang positif terhadap pembelajaran.

Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya mengajarkan ilmu kepada orang-orang dari golongan ini, karena mereka memiliki kesiapan mental untuk menerima pengetahuan dengan hati yang lapang. Inilah sikap yang sangat dihargai dalam Islam, yakni seseorang yang sadar akan kekurangannya dan terus berusaha untuk memperbaiki diri melalui ilmu.

Orang yang Tidak Tahu Bahwa Dia Tidak Tahu (وَهُوَ لَا يَدْرِي أَنَّهُ لَا يَدْرِي)

Golongan keempat adalah yang paling berbahaya. Mereka tidak memiliki pengetahuan, tetapi tidak menyadari bahwa mereka bodoh. Mereka hidup dalam ketidaktahuan yang parah, namun merasa seolah-olah mereka sudah tahu segalanya. Orang-orang dari golongan ini sering kali enggan menerima nasihat atau ilmu baru karena mereka merasa sudah tahu, padahal sebenarnya mereka jauh dari kebenaran.

Imam Al-Ghazali mengingatkan agar kita menjauh dari orang-orang seperti ini, karena ketidaktahuan mereka dapat menyesatkan diri sendiri dan orang lain. Mereka sering kali terjebak dalam kesombongan yang berasal dari kebodohan, dan sifat ini sangat sulit diperbaiki kecuali dengan kesadaran diri yang mendalam.

Pelajaran dari Keempat Golongan

Kutipan dari Khalil bin Ahmad yang dikutip oleh Imam Al-Ghazali ini memberikan kita pelajaran mendalam tentang pentingnya kesadaran dalam ilmu. Ilmu tidak hanya tentang memiliki pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana kita menyadari pengetahuan tersebut, memanfaatkannya dengan baik, dan bersikap rendah hati terhadap apa yang kita belum ketahui.

Sebagai umat Islam, kita dituntut untuk terus belajar dan menyadari posisi kita dalam siklus pengetahuan ini. Jika kita termasuk dalam golongan yang mengetahui dan sadar akan ilmunya, maka kita punya kewajiban untuk berbagi dan membimbing. Jika kita termasuk yang tidak tahu bahwa kita tahu, maka kita harus dibangunkan dan diberi kesempatan untuk menyadari potensi kita. Jika kita termasuk yang tahu bahwa kita tidak tahu, kita harus terus belajar dan mencari kebenaran. Dan jika kita termasuk yang tidak tahu bahwa kita tidak tahu, maka kita harus menyingkirkan kesombongan dan mulai membuka diri untuk ilmu.

Kesadaran akan posisi kita dalam ilmu dan bagaimana kita memanfaatkannya adalah esensi dari perjalanan intelektual dan spiritual. Sesungguhnya, ilmu adalah salah satu jalan menuju kedekatan dengan Allah, dan setiap langkah dalam proses ini membutuhkan kesadaran, kerendahan hati, dan kemauan untuk terus belajar. Wallahu a’lamu. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini