Pendidikan menjadi kunci dalam konvergensi pemahaman keislaman di Indonesia, yang terus berkembang, sehingga menciptakan generasi Muslim baru dengan visi keislaman yang terbuka, sembari tetap mempertahankan tradisi keislaman yang kuat. Generasi ini merupakan kekuatan Islam Indonesia di masa depan, yang menjadi keistimewaan Indonesia dan tidak dimiliki oleh negara lain.
Pandangan ini disampaikan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Abdul Mu’ti, dalam tausiyah di depan undangan dan santri Pesantren Cendekia Amanah, Kalimulya, Depok, pada Sabtu (8/3/2025).
Acara bertajuk “Berbagi Cahaya Ramadan” yang dihelat oleh Pesantren Cendekia Amanah itu dihadiri oleh sejumlah tokoh, di antaranya Deputi 1 Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga Prof. Dr. Asrorun Ni’am Sholeh, Wali Kota Depok Dr. Supian Suri, Direktur GTK Madrasah Kemenag, Pendiri ESQ 165 Dr. Ary Ginanjar Agustian, Ketua Umum Yayasan Muslim Sinar Mas (YMSM) Dr. Saleh Husin, serta pimpinan Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan Majelis Ulama Indonesia.
Mengawali tausiyahnya, Abdul Mu’ti menyatakan rasa hormat dan penghargaan kepada Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah, Kiai Dr. Cholil Nafis, yang memuliakan tamunya. Menurut Mu’ti, meskipun mereka berada dalam dua organisasi yang berbeda, namun keduanya memiliki “chemistry” yang sangat kuat.
“Beliau ini memang biasa menjadi partner saya di beberapa stasiun televisi untuk acara-acara yang berkaitan dengan ceramah agama Islam. Dengan beliau, tidak perlu diarahkan, tanpa ada skenario, insyaallah sudah saling mengisi, sehingga selama satu setengah jam siaran itu berjalan tanpa kesalahan,” ujar Mu’ti sambil tersenyum.
“Ini karena kami sudah memiliki chemistry yang sama. Kalau semua umat itu seperti Kiai Cholil, atau mungkin juga seperti saya, Indonesia ini akan bebas dari persoalan-persoalan khilafiyah dan furukiyah,” lanjutnya, disambut tepukan meriah dari hadirin.
Mu’ti kemudian menilai bahwa organisasi Nahdlatul Ulama (NU) kini tidak lagi diidentikkan dengan kebangkitan para ulama, tetapi kebangkitan kaum cendekiawan atau intelektual. Di kalangan NU, banyak yang menguasai kitab putih, selain kitab kuning. Sering kali dibuat perbandingan bahwa NU identik dengan kitab kuning, sedangkan Muhammadiyah dengan kitab putih.
“Alhamdulillah, NU kini banyak yang menguasai kitab putih, dan Muhammadiyah pun banyak yang menguasai kitab kuning,” ujarnya.
Dulu, orang sering menyebut Muhammadiyah sebagai kelompok modernis dan NU sebagai kelompok tradisionalis, namun saat ini, hal tersebut sudah tidak relevan lagi. Mengutip buku Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition karya Fazrul Rachman (1982), Mu’ti menjelaskan bahwa kesenjangan antara kelompok modernis dan tradisionalis kini hampir tidak ada lagi.
“Pertemuan seperti ini, dimana tokoh dari berbagai ormas dapat bersatu, itu sangat jarang terjadi di negara-negara Muslim lain,” tuturnya.
Abdul Mu’ti menjelaskan lebih lanjut tentang konvergensi yang terjadi di Indonesia, mengutip Prof. Kuntowijoyo dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid (1994). Menurut Prof. Kuntowijoyo, meskipun banyak generasi Muslim berasal dari latar belakang yang berbeda-beda, mereka kini memiliki pemahaman keislaman yang hampir serupa.
Menurut Mu’ti, ada tiga konvergensi yang terjadi dalam masyarakat Muslim Indonesia. Pertama, konvergensi antara kelompok tradisional dan kelompok modernis, dimana perbedaan antara NU dan Muhammadiyah kini semakin samar.
Kedua, konvergensi antara kelompok santri dan abangan, yang juga sudah semakin tidak terlihat. Ketiga, konvergensi politik, dimana perbedaan antara partai Islam dan non-Islam, atau nasionalis, semakin kabur. Sebagai contoh, PDI Perjuangan yang dulunya lebih identik dengan kelompok abangan kini banyak diisi oleh santri. Begitu juga dengan Golkar, yang juga kini diisi oleh banyak santri.
Mu’ti menambahkan bahwa konvergensi ini terjadi seiring dengan kebijakan Presiden Suharto yang mewajibkan pendidikan agama di semua jenjang pendidikan. Hal ini memungkinkan anak-anak dari latar belakang keluarga abangan, santri, maupun priyayi untuk belajar agama bersama-sama menggunakan buku pelajaran yang sama.
Kedua, peran IAIN (sekarang UIN) dalam pendidikan Islam juga berperan besar dalam mengurangi perbedaan antara NU dan Muhammadiyah.
“Di IAIN, banyak kalangan santri yang belajar dari dosen yang sama dan literatur yang serupa. Perbedaan antara Muhammadiyah dan NU kini hampir tidak terlihat lagi. Mungkin hanya afiliasi organisasi yang masih membedakan,” jelas Mu’ti.
Faktor ketiga, menurut Mu’ti, adalah semakin banyaknya anak-anak NU yang belajar di kampus dan sekolah Muhammadiyah. Di Universitas Muhammadiyah Surakarta, sekitar 70 persen mahasiswanya berasal dari NU. Begitu juga di Universitas Muhammadiyah Malang.
“Ketika mereka belajar di Muhammadiyah, ada kemungkinan mereka akan bergabung dengan Muhammadiyah. Namun, yang lebih sering terjadi adalah mereka semakin memperkuat identitas NU-nya,” ungkapnya sambil tertawa.
Mu’ti menutup tausiyahnya dengan mengungkapkan rasa iri kepada Kiai Cholil Nafis. Ia menceritakan bahwa dalam perjalanan menuju Cendekia Amanah, ia menonton program Sang Kiai Gus Cholil di YouTube. Ia baru tahu bahwa Gus Cholil adalah anak seorang saudagar Madura yang kemudian menjadi ulama.
“Saya terinspirasi, karena orang hanya boleh iri kepada dua hal: pertama, orang kaya yang dermawan, dan kedua, orang alim yang mengamalkan ilmunya. Karena itu, saya iri kepada Kiai Cholil, beliau memiliki keduanya. Beliau seorang dermawan dan alim,” tuturnya.
Abdul Mu’ti juga mengungkapkan, ia terinspirasi untuk mengembangkan pesantren. Ia menceritakan bahwa buyutnya dahulu memiliki pesantren, dan banyak santrinya berasal dari Tebu Ireng, Demak, dan daerah lainnya. Kini, pesantren tersebut dilanjutkan oleh sepupunya yang NU, namun alumni Tsanawiyah dan Aliyah Muhammadiyah, yang kini menjadi Ketua PCNU.
“Inilah hebatnya Islam di Indonesia, dimana Muhammadiyah dan NU tidak menjadi dua organisasi yang saling berseteru, melainkan seperti dua sayap burung Garuda. Burung Garuda bisa terbang tinggi karena dua sayap itu mengepak. Dua sayap itu adalah Muhammadiyah dan NU,” tutupnya. (ek/tim)