Ada yang bertanya, “Ustadz, doa apa yang Anda baca di atas kubur?”
Jawaban saya: bayangkan saja Anda telah menjadi penghuni kubur (ahlud-diyār). Kira-kira, doa apa yang paling Anda harapkan dari para peziarah? In syā Allah, doa itulah yang saya bacakan.
Saya jadi teringat pengalaman membersamai Prof. Yunahar Ilyas rahimahullāh beberapa tahun silam. Seperti biasa, di Masjidil Haram, selalu ada kumandang salat jenazah berjamaah setelah selesainya salat fardu.
Dalam sebuah sesi dialog pada pengajian rutin bimbingan KBIH Aisyiyah, seseorang bertanya, “Prof. Yun, apakah kita salat ba’diyah Zuhur terlebih dahulu, baru kemudian salat jenazah? Atau bagaimana sebaiknya?”
Jawaban Prof. Yunahar Ilyas rahimahullāh—ingat, saat itu beliau merupakan pimpinan teras MUI Pusat dan Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Tarjih dan Tabligh—sungguh mengejutkan:
“Kalau Bapak yang menjadi jenazah, kira-kira Bapak pilih mana: salat ba’diyah dulu atau salat jenazah dulu?”
Jawaban almarhum sungguh di luar dugaan dan nalar saya. Namun, dari sana tersirat pesan moral yang dalam: bahwa beragama itu tidak selalu soal legal-formal atau perdebatan semantik yang saling mengungguli. Ada yang lebih tinggi: beragama dengan nurani.
Tentu, Rasulullāh ‘alaihissalām telah banyak mengajarkan umatnya. Tinggal dipelajari, direnungkan, dan diamalkan. Syukur jika bisa didakwahkan. Mohon maaf bila ada kekurangan.
Adab bukan hanya soal mereka yang masih hidup atau tentang dunia yang gemerlap. Mereka yang telah tiada justru lebih pantas diteladani, karena telah lulus dari fitnah dunia.
Ziarah kubur, dan mendoakan Trimurti—para pendiri Pondok Modern Gontor—beserta keluarga besar pondok lainnya yang telah berjasa besar dalam pendidikan Islam di Indonesia, bahkan dunia.
Dilakukan pada 4 Syawal 1446 H.
Keteladanan para pemimpin menjadi suluh bagi anggota. Semoga Allah menjaga antum semua. Amin