Idulfitri: Rayakan dengan Penuh Kesederhanaan

Idulfitri: Rayakan dengan Penuh Kesederhanaan

*)Oleh: Fathan Faris Saputro, M.Pd
Penulis Buku Pelukan Ramadan

Idulfitri adalah momen yang penuh suka cita bagi umat Islam di seluruh dunia. Setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh, hari kemenangan ini menjadi ajang silaturahmi dan perayaan yang sarat makna. Namun, di balik kebahagiaan yang menyelimuti, ada baiknya kita merenungi kembali hakikat perayaan Idulfitri dengan penuh kesederhanaan.

Islam mengajarkan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam berbelanja, berpakaian, dan merayakan kebahagiaan. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. mengingatkan agar umat-Nya tidak berlebihan dan tetap berada di jalur yang lurus dalam membelanjakan hartanya.

Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Furqan ayat 67. Ayat ini menunjukkan bahwa dalam mengelola harta, umat Islam dianjurkan untuk bersikap moderat, tidak boros, dan tidak pula kikir. Prinsip ini sangat relevan dengan Idulfitri, di mana sering kali masyarakat terjebak dalam euforia konsumtif. Banyak orang yang menghamburkan uang untuk membeli pakaian baru, makanan berlebihan, atau bahkan berhutang demi merayakan hari raya dengan kemewahan yang tidak perlu. Padahal, esensi dari Idulfitri bukanlah pada seberapa banyak yang bisa dibeli, melainkan pada sejauh mana kita bisa mensyukuri nikmat Allah dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.

Kesederhanaan dalam ber-Idulfitri juga ditekankan dalam Surah Al-Isra. Allah Swt. berfirman dalam ayat 29, Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu (terlalu kikir) dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (terlalu boros), nanti engkau menjadi tercela dan menyesal.” Ayat ini menegaskan bahwa sifat boros bisa membawa penyesalan di kemudian hari. Betapa banyak orang yang, karena ingin tampil lebih baik di hari raya, akhirnya mengalami kesulitan keuangan setelahnya.

Bahkan, dalam Surah Al-Isra ayat 26 dan 27, Allah Swt. menyebut bahwa pemboros adalah saudara setan. “Dan berikanlah kepada kerabat dekat haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya, pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.”

Pesan dalam ayat ini begitu jelas bahwa membelanjakan harta secara berlebihan, apalagi hanya demi kesenangan sesaat, adalah perbuatan tercela. Alih-alih menghamburkan uang untuk hal-hal yang tidak perlu, lebih baik jika kita mengalokasikan sebagian harta kita untuk membantu orang-orang yang kurang mampu. Banyak saudara-saudara kita yang masih dalam kesulitan ekonomi, yang bahkan untuk merayakan Idulfitri secara sederhana pun mereka tidak mampu. Maka, berbagi dengan mereka jauh lebih utama daripada menghamburkan uang demi kepentingan pribadi.

Selain itu, dalam Surah Al-Isra ayat 31, Allah Swt. juga memperingatkan tentang dampak dari ketidakseimbangan dalam ekonomi rumah tangga. “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya, membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” Ayat ini mengandung makna luas, termasuk dalam konteks pengelolaan keuangan keluarga.

Terkadang, karena mengikuti gaya hidup konsumtif saat Idulfitri, ada orang tua yang terpaksa mengorbankan kebutuhan pokok anak-anaknya di masa mendatang. Oleh karena itu, kita harus bijak dalam mengatur keuangan dan mengutamakan kebutuhan yang benar-benar penting.

Dalam Islam, kesederhanaan juga tidak hanya diterapkan dalam urusan finansial, tetapi juga dalam hal makan dan berpakaian. Surah Al-A’raf ayat 31 mengajarkan, “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.” Ayat ini mengajarkan prinsip dasar dalam menikmati rezeki, yaitu tidak berlebihan.

Dalam konteks Idulfitri, kita bisa menerapkannya dengan tidak menyajikan makanan secara berlebihan hingga terbuang sia-sia, serta tidak membeli pakaian hanya demi gengsi atau kebanggaan diri. Sebab, yang lebih utama dari pakaian yang mewah adalah kebersihan dan kesopanan dalam berpenampilan.

Idulfitri seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat nilai-nilai spiritual dan sosial dalam kehidupan kita. Kebahagiaan sejati di hari raya tidak diukur dari banyaknya makanan di meja atau kemewahan pakaian yang dikenakan, melainkan dari kedamaian hati yang lahir dari rasa syukur dan kebersamaan. Oleh karena itu, marilah kita merayakan Idulfitri dengan penuh kesederhanaan, tanpa menghilangkan kebahagiaan, serta tetap menjaga keseimbangan dalam segala aspek kehidupan sebagaimana yang diajarkan dalam Al-Qur’an. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *