Kidung Marwa Suci

Kidung Marwa Suci

Dalam perjalanan waktu yang terus berputar mengiringi kisah cinta mereka, ada keyakinan yang semakin mendalam pada Oqoye Khair dan Marwa Suci, bahwa insyaAllah cinta mereka bersatu dalam cahaya. Dalam bangunan mahligai rumah tangga yang indah. Saling mencintai dan setia. Karena semuanya dikerjakan demi pengabdian mereka kepada Allah. Demi ketaatan mereka kepada Allah, untuk menggapai rida-Nya.

Mereka seringkali berdiskusi tentang konsep cinta ini. Seperti obrolan mereka pada suatu sore, ketika mereka selesai shalat berjamaah ashar di masjid dekat Pesantren di desa itu, bersama sahabat-sahabat mereka berdua. Mereka mencoba membedah dari sudut pandang Al-Qur’an, Surat Maryam dan Ar-Ruum. Biasanya, Oqoye berpijak pada Al-Qur’an, lalu Marwa Suci mengomentarinya dengan bacaannya, pengalamannya atau interaksinya dengan berbagai komunitas. Sahabat-sahabat mereka berdua biasanya terkadang menimpali. Tetapi lebih banyak tersenyum dan mendengarkan obrolan Oqoye Khair dan Marwa Suci dengan tekun.

‘Cinta itu pasti suci’, kata Oqoye mengawali pembicaraannya. Hampir 97% Al-Asma’ul Husna mengandung makna yang membuat kita memahami bahwa Allah adalah Dzat penuh cinta kasih dalam sifat-Nya mengatur dan merawat alam semesta dan seisinya ini. Allah itu Maha Suci, tak ada cela pada-Nya. Maka, bila ada cinta yang tak suci, sungguh itu pasti tidak berasal dari penghambaan kepada Tuhan. Cinta yang tidak suci itu pasti berasal dari nafsu belaka, tidak dari ruh. Bukankah ketika Tuhan menghembuskan ruh kepada anak cucu Adam, mereka berjanji kepada Allah untuk mengabdi penuh cinta dan ketaatan kepada-Nya. Oleh karena itu, tentu saja, orang yang memaknai cinta, sementara dia tidak mengabdi kepada-Nya dengan tulus, bisa jadi, cintanya palsu, tidak suci.

Karena itu, sederhananya, cinta bisa diurai menjadi tiga aras. “Marwa Suci, ijinkan aku memulai membahasnya dari Nama Allah Al-Wadud”. Marwa Suci menganggukkan kepala tanda mengiyakan. “Nama Allah ini bermakna ‘Yang Maha Mengalirkan Kasih Sayang’ kepada hamba-hamba-Nya. Nama yang indah ini berasal dari akar kata Bahasa Arab wadda – yawaddu – wuddan (ودّ –  يودّ –  ودّا), yang artinya mencintai, menyayangi.”

Dalam membingkai kasih sayang dan cinta kasih dalam mahligai rumah tangga, Allah Swt., dengan sangat indah menjabarkannya dengan kata mawaddah (QS. 30: 21). Karena seseorang pasti mengawali hubungan manusiawinya dengan mawaddah ini.

“Marwa Suci, kamu tahu kan, dan mungkin pernah mengalami, bila rasa manusiawi itu lekat dengan kecintaan kepada fisik, materi dan keturunan. Orang mungkin memiliki pertimbangan mencintai seseorang karena pertimbangan fisiknya, kecantikannya; mungkin  juga karena pertimbangan kekayaannya; mungkin juga karena pertimbangan keturunannya. Semua ini sungguh manusiawi. Tidak dilarang, karena memang pertimbangan-pertimbangan tersebut bersifat manusiawi”.

Beberapa abad silam, rasa manusiawi ini telah diakomodir oleh hadits Nabi Saw yang membicarakan tentang bagaimana kita memilih pendamping hidup kita. Nabi Suci ini bersabda bahwa perempuan dinikahi, dipilih untuk dinikahi (boleh jadi) karena beberapa pertimbangan berikut: kecantikannya, kekayaannya, keturunannya, dan keyakinan keagamaannya. Perhatikan keyakinan keagamaannya, tanganmu akan selamat.

Yang diakomodir oleh hadis ini betapa menikahi perempuan itu, boleh karena pertimbangan, pertama sekali, kecantikannya. Setelah itu, boleh juga melihat kekayaannya. Juga sangat manusiawi memilih menikahi perempuan karena keturunannya. Sungguh manusiawi. Sungguh awal kisah cinta yang manusiawi, karena orang tertarik kepada lawan jenisnya pertama sekali tentu kepada fisiknya. Pertimbangan ini, sungguh dapat menumbuhkan rasa cinta kasih pada tahap-tahap berikutnya. Begitupula dengan kekayaan dan keturunan.

“Namun, Marwa Suci, bila kamu perhatikan, pertanyaan ini akan menyadarkan kita: ‘Seberapa lamakah kecantikan, kekayaan dan keturunan dapat bertahan?’. Oleh karena itu, hadis Nabi Suci Saw., itu buru-buru mengingatkan umatnya untuk berpegang teguh pada keyakinan keagamaan. Bahkan harusnya menjadi pertimbangan utamanya.

Dalam urusan cinta kasih ini, agar menjadi abadi, pertimbangan keputusannya harus didasarkan kepada sesuatu yang abadi. Yaitu, rahmah: iman dan amal shaleh. Maka, telitilah perempuan, atau pasangan hidupmu dengan mempertimbangkan iman dan amal shalehnya. Niscaya yang hadir kemudian adalah harapan akan mawaddah yang berujung rahmah. Sehingga rumah tangga lalu menjadi sakinah.

Marwa Suci, agama, iman dan amal shaleh adalah sesuatu yang abadi di mata Sang Pencipta. Karena itu, Allah menyatakan bahwa cinta kasih hakiki hanya akan muncul dari pribadi yang beriman dan gemar beramal shaleh. Bila, fisik, kekayaan dan keturunan saja yang menjadi pertimbangan, ketika semuanya telah sirna, bisa saja dapat memudarkan cinta kasih. Oleh karena itulah, makna cinta kasih yang sejati pasti berujung pada rahmah, kasih sayang yang pertimbangannya karena seseorang ingin memutuskan bersama kekasihnya dalam menggapai cahaya abadi Tuhan.

“Oqoye, terima kasih kamu telah semakin menyadarkanku akan makna cinta kasih dan kasih sayang. Doakan aku selalu mencintaimu karena cahaya, karena ingin membangun kedekatan tertinggi dengan Sang Pencipta. Oqoye, terima kasih juga telah mengajarkan kepadaku bagaimana cinta itu adalah kesederhanaan. Cinta kasih nan sederhana ini telah memutar duniaku. Kini duniaku terasa berputar semakin sederhana, pelan dan semakin indah.”

“Iya, Marwa Suci. Cinta dan kasih sayang itu adalah simbol cahaya, karena dia adalah asma-asma Allah. Rasa cinta dalam cahaya itu akan selalu berada dalam puncak cahaya, yaitu: keimanan dan kepasrahan kepada Sang Maha Pencipta. Beriman itu, baik kamu merasa Allah bersamamu atau tidak tampak bersamamu, kamu tetap tertuju kepada-Nya. Mudah-mudahan cinta kasih sayang ini menjadi indah dalam jalan iman dan dakwah. Lalu, Allah takdirkan kamu menjadi pendamping hidupku selamanya.”

“Marwa Suci, sungguh dalam doaku, aku mohonkan agar engkau seperti Khadijah yang melengkapi dakwah ini menjadi lebih mudah dan indah. Dalam doaku juga, aku mohonkan agar engkau bagaikan Aisyah yang terkadang protes manja, karena putri Abu Bakar ini benar-benar mencintai Sang Junjungan Saw. Dalam doaku juga, aku mohonkan agar engkau seperti Fathimah Azzahra yang melengkapi kesalehan Ali Kw., dengan kidung-kidung cinta dan kesederhanaan.”

“Insya Allah, Oqoye. Terima kasih. Mudah-mudahan Allah Swt., meridai kita. Aamiin.”

 

*) Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *