Malu, Cermin Keimanan yang Mulai Pudar

Malu, Cermin Keimanan yang Mulai Pudar
*) Oleh : Dr. Ajang Kusmana

Malu kepada Allah seperti ini adalah malu yang didapat melalui proses ma’rifatullah (mengenal Allah), mengenal keagungan-Nya, merasakan kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, merasa diawasi oleh-Nya dan kesadaran bahwa Allah selalu mengetahui mata-mata yang berkhianat dan apa yang tersimpan di dalam hati manusia.

Malu seperti ini merupakan derajat tertinggi dari suatu iman, bahkan malu adalah derajat hiasan yang paling tinggi. Ibnu Abbas berkata;

الَحيَاءُ وَالإِيْمَانُ فِي قَرْنٍ، فَإِذَا نَزَعَ الْحَيَاءُ تَبِعَه اْلآخر

“Iman dan malu adalah satu kesatuan. Jika malu telah lepas maka akan diikuti iman.”

Hadits dan atsar di atas menjelaskan bahwa orang yang telah hilang sifat malunya maka tidak ada lagi yang menghalanginya untuk berbuat tercela, tidak akan sungkan lagi melakukan hal yang haram, tidak takut terhadap dosa, tidak malu berkata kotor.

Oleh karena itu ketika sifat malu semakin terkikis di zaman sekarang ini maka semakin tumbuh subur pula berbagai kemungkaran, aurat dengan bangga diperlihatkan, terang-terangan dalam berbuat keji dan memandang baik perkara-perkara yang buruk dan tercela.

Lalu apa itu malu ?
Al-Zamakhshari berkata bahwa malu adalah perubahan di hati dan perasaan seseorang ketika ia takut dicela atau takut ketahuan aibnnya.

Al-Raghib berkata bahwa malu itu artinya ketidaksukaan jiwa kita dari perbuatan yang sifatnya jelek. Ketika kita tidak mau melakukan sesuatu yang sifatnya buruk, itu berarti kita punya rasa malu.

Dalam Islam, rasa malu itu mempunyai keutamaan yang banyak. Di antaranya adalah rasa malu itu merupakan salah satu perangai keimanan. Dalam hadits Nabi mengatakan:

وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

“Rasa malu cabang dari keimanan.”

Hal ini menunjukkan bahwa malu bersifat wajib. Sebab seseorang apabila kehilangan rasa malu, menyebabkan hilang salah satu cabang keimanan. Apabila cabang imannya hilang, berarti mengakibatkan imannya tidak sempurna. Maka sesuatu yang menghilangkan kesempurnaan iman itu biasanya hukumnya wajib. Dalam hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari hadits Anas, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ لِكُلِّ دِينٍ خُلُقًا، وَخُلُقُ الْإِسْلَامِ الْحَيَاءُ

“Setiap agama mempunyai ciri khas akhlak dan ciri khas akhlak Islam itu rasa malu.” (HR. Ibnu Majah)

Jadi rasa malu adalah akhlak Islam. Artinya setiap orang yang mengaku dirinya Muslim, harus terlihat ciri khasnya bahwa dia pemalu.

Malu untuk melakukan hal-hal yang buruk, malu di saat ia meninggalkan kebaikan. Allah mensifati diri-Nya sebagai pemalu. Diantara sifat Allah adalah Al-Hayyiyu (Yang Maha Pemalu).

Disebutkan dalam hadits yang dikeluarkan oleh Tirmidzi dan Baihaqi, dari Salman Al-Farizi bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي إِذَا رَفَعَ الرَّجُلُ إِلَيْهِ يَدَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا خَائِبَتَيْنِ

“Sesungguhnya Allah Maha Hidup dan Maha Mulia, Dia merasa malu apabila seseorang mengangkat kedua tangannya kepadaNya dan kembali dalam keadaan kosong tidak membawa hasil.” (HR. Tirmidzi & Baihaqi)

Rasa malu Allah kepada hambaNya, ini jenis yang lain yang tidak bisa dipahami dan digambarkan oleh akal kita. Karena malu Allah menunjukkan kepada kedermawanan dan kebaikan.

Allah malu kepada hamba-hambaNya artinya Allah itu dermawan kepada hamba-hamba-Nya, Allah tidak mau pelit kepada hamba-hamba-Nya, Allah malu ketika hamba-hamba-Nya minta kepada-Nya ternyata Allah tidak memberinya.

Karena Allah Maha kaya, maka Allah malu untuk membuka aib hamba-hambaNya tanpa sebab. Allah juga malu dari hamba-hambaNya yang takut kepadaNya, ternyata Allah berikan adzab.

Lalu apa saja keutamaan dari memiliki rasa malu :

Pertama, bahwa Malu itu sifat para Nabi, terutama Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih pemalu daripada seorang gadis pingitan yang dipingit di kamarnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *