Pakar Pendidikan UM Surabaya Beri Catatan Kritis Soal Perubahan Sistem Zonasi

Pakar Pendidikan UM Surabaya Beri Catatan Kritis Soal Perubahan Sistem Zonasi

Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) diperkenalkan sebagai pengganti mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).

Selain itu, sistem zonasi yang sebelumnya diterapkan dalam PPDB kini digantikan dengan sistem domisili dalam SPMB.

Menanggapi perubahan tersebut, Achmad Hidayatullah, Ph.D pakar pendidikan dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), menyatakan bahwa sistem zonasi masih relevan untuk diterapkan meskipun memerlukan sejumlah perbaikan.

“Dengan sistem zonasi, pemerintah dapat mengontrol pemerataan pendidikan. Sistem ini tetap dibutuhkan untuk memperkuat keyakinan kolektif masyarakat bahwa pemerataan pendidikan merupakan hal yang penting,” ujar Dayat pada Ahad (26/1/2025).

Dayat menambahkan, apabila sistem zonasi dihapus sepenuhnya, kesenjangan dalam pendidikan akan kembali terlihat.

Sebagai contoh, sekolah unggulan akan didominasi oleh siswa dari keluarga ekonomi atas, sedangkan sekolah biasa diisi oleh siswa dari latar belakang ekonomi bawah.

Menurutnya, sekolah unggulan selama ini sangat diuntungkan karena siswanya berasal dari keluarga ekonomi atas, sehingga para guru harus berjuang keras untuk meraih prestasi di berbagai kompetisi.

“Hal ini tentu tidak baik bagi masa depan pendidikan Indonesia. Apapun namanya, esensi dari sistem zonasi ini harus tetap dijaga dengan pengawasan yang ketat,” tegas Dayat.

Dia juga menyoroti pentingnya pemerataan distribusi guru. Banyak sekolah unggulan negeri memiliki jumlah guru berkualifikasi baik yang cukup banyak, sedangkan sekolah lainnya masih kekurangan tenaga pengajar.

Oleh karena itu, penguatan kualitas guru di berbagai sekolah tetap harus menjadi prioritas.

Dayat juga memberikan apresiasi terhadap langkah pemerintah yang membantu siswa yang gagal seleksi PPDB untuk masuk ke sekolah swasta dengan biaya yang ditanggung pemerintah.

Selama ini, imbuh dia, salah satu masalahnya adalah penambahan rombongan belajar dan kelas di sekolah negeri, yang berdampak pada penurunan jumlah siswa di sekolah swasta di beberapa wilayah.

“Dengan melibatkan sekolah swasta, ini menjadi wujud keadilan dalam pendidikan, sehingga semua rakyat dapat mengakses pendidikan,” imbuhnya.

Dengan demikian, apabila kuota di sekolah negeri telah penuh, siswa dapat melanjutkan pendidikan di sekolah swasta dengan bantuan pemerintah.

Langkah ini juga memperkuat keyakinan epistemologis siswa bahwa pengetahuan adalah milik semua orang, tanpa membedakan kelompok tertentu.

Dayat juga menjelaskan bahwa dalam konteks teori kognitif sosial (social cognitive theory) yang dikemukakan oleh Albert Bandura, dukungan pemerintah kepada siswa yang melanjutkan pendidikan di sekolah swasta memiliki dampak signifikan terhadap peningkatan self-efficacy atau keyakinan diri mereka.

Menurut teori tersebut, self-efficacy merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan mereka untuk mencapai tujuan tertentu, yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan dukungan yang diterima.

“Ketika pemerintah memberikan perhatian berupa bantuan bagi siswa yang bersekolah di swasta, mereka akan merasa dihargai dan didukung secara setara dengan siswa di sekolah negeri,” latanya

“Hal ini akan membangun kepercayaan diri mereka, menguatkan semangat belajar, dan menanamkan keyakinan bahwa kesuksesan adalah hal yang dapat mereka raih terlepas dari tempat mereka menempuh pendidikan,” timpal Dayat.

Dia menambahkan, dukungan ini bukan hanya menciptakan rasa keadilan, tetapi juga memperkuat mentalitas siswa untuk terus berkembang.

Siswa akan memahami bahwa pemerintah hadir untuk memberikan peluang yang sama bagi semua anak bangsa, sehingga mereka merasa termotivasi untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki tanpa memandang batasan fasilitas pendidikan yang mereka akses. (uswah sahal)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *