Puasa biasa diartikan dengan menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari. Namun, hakikatnya lebih dari itu. Maka dari itu tujuan akhir dari puasa adalah mencapai atau menjadikan muslim bertakwa sesuai surah al Baqarah ayat 183 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَععَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim menjelaskan bahwa ayat di atas berkenaan dengan perintah puasa yang tidak hanya kewajiban menahan diri dari makan, minum dan jimak semata. Akan tetapi harus dilandasi dengan dengan niat karena Allah SWT, menjauhkan diri dari perbuatan yang dilarang dan tercela, serta membersihkan diri lahir dan batin.
Ibnu Bajjah seorang filusuf muslim dari Spanyol mengatakan bahwa terdapat 3 unsur jiwa dalam diri manusia:
1. Jiwa Nutritif (Nafs Nabatiyyah)
Berfungsi sebagai dasar bagi pertumbuhan dan reproduksi. Jiwa ini menghendaki makanan, minuman, dan hasrat seksual, serta kebutuhan fisik atau biologis lainnya.
Rasulullah saw pernah memberikan nasihat kepada seorang pemuda yang memiliki hasrat kuat untuk menikah tetapi belum memiliki kesiapan finansial. Beliau menyarankan agar pemuda tersebut berpuasa sebagai cara untuk menahan dorongan biologisnya, menunjukkan bahwa puasa memiliki fungsi dalam mengendalikan jiwa nutritif agar tidak mendominasi kehidupan manusia.
2. Jiwa Emosional (Nafs Hayawaniyyah)
Berkaitan dengan emosi, nafsu, dan insting seperti amarah, keserakahan, serta keinginan untuk berkuasa. Jika tidak dikendalikan, jiwa ini dapat membawa manusia pada tindakan destruktif. Puasa membantu menenangkan jiwa emosional dengan mengajarkan kesabaran, keikhlasan, dan pengendalian diri.
3. Jiwa Imaginatif dan Rasional (Nafs Insaniyyah)
Memungkinkan manusia untuk berpikir, mencipta, serta mencapai kesadaran moral dan spiritual yang lebih tinggi. Inilah tingkatan jiwa yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang lebih mulia dibanding makhluk lainnya.
Puasa memiliki dua dimensi utama, yaitu eksoteris (lahiriah) dan esoteris (batiniah).
Puasa eksoteris melibatkan penahanan fisik, yaitu tidak makan, minum, dan berhubungan suami istri dari fajar hingga senja. Namun, jika hanya berhenti di sini, puasa menjadi ritual fisik tanpa memberikan dampak mendalam pada kepribadian seseorang.
Sebaliknya, puasa esoteris menuntut lebih dari sekadar pengendalian tubuh. Ia adalah latihan menyucikan jiwa, mengendalikan hawa nafsu emosional dan intelektual, serta memperdalam kesadaran spiritual.
Puasa esoteris mengajarkan seseorang untuk tidak hanya menahan diri dari makanan, tetapi juga dari kemarahan, iri hati, kebencian, dan kesombongan.
Sayangnya, kecenderungan yang terlalu berfokus pada aspek eksoteris membuat banyak orang melupakan esensi puasa yang sejati. Mereka mungkin menahan lapar dan dahaga, tetapi tetap membiarkan diri mereka dikuasai oleh emosi negatif dan hawa nafsu duniawi. Dalam konteks ini, puasa menjadi ritual tanpa transformasi batin.
Dalam sebuah hadits Rasulullah saw bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR An-Nasa’i)
Dalam puasa tahun ini, mari kita mengevaluasi diri kita, apakah masih hanya seputar eksoteris, atau sudah masuk kedalam ranah esoteris? (*)