Rezeki adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan setiap makhluk. Ia adalah karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah dijamin dan diatur dengan sangat teliti dalam ketetapan-Nya. Sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya:
“Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semua dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).”
(QS. Hud: 6)
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah bukan hanya menjamin rezeki seluruh makhluk, tetapi juga mengetahui tempat mereka berada dan ke mana mereka akan berpindah. Sebagian mufasir menjelaskan bahwa “tempat kediaman” yang dimaksud adalah dunia tempat manusia hidup, sementara “tempat penyimpanan” merujuk kepada akhirat sebagai tempat kembali. Ada juga yang menafsirkan bahwa “kediaman” adalah tulang sulbi ayah (tempat sebelum kelahiran), dan “penyimpanan” adalah rahim ibu (tempat pembentukan janin).
Allah menegaskan kembali dalam ayat lain:
“Dan berapa banyak makhluk bergerak yang bernyawa yang tidak (dapat) membawa rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu. Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Al-‘Ankabut: 60)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa tidak semua makhluk mampu mengurus rezekinya sendiri, seperti bayi, binatang liar, atau makhluk lemah lainnya. Namun demikian, semuanya tetap memperoleh rezeki karena kasih sayang Allah yang tiada batas.
Begitu pula manusia, walaupun memiliki akal dan usaha, tetap harus sadar bahwa rezeki hakikatnya datang dari Allah.
Ukuran Rezeki Sudah Ditetapkan
Seringkali manusia bertanya, “Mengapa si A diberi lebih, sementara si B diberi sedikit?” Padahal, Allah telah menjelaskan bahwa rezeki diberikan dengan ukuran dan hikmah yang sangat dalam:
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan (rezeki) dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Teliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura: 27)
Ayat ini menjelaskan bahwa pembatasan atau pelapangan rezeki bukan bentuk ketidakadilan, tetapi bentuk kasih sayang dan penjagaan dari Allah. Sebab, jika rezeki dilimpahkan tanpa batas, manusia bisa menjadi sombong dan lalai.
Rezeki Adalah Ujian
Baik kekayaan maupun kekurangan, keduanya merupakan ujian. Orang yang diberi kelapangan rezeki diuji dengan kesyukuran, sedangkan yang diberi keterbatasan diuji dengan kesabaran. Allah berfirman:
“Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang yang dilebihkan tidak mau memberikan rezekinya kepada para hamba sahaya yang mereka miliki, sehingga mereka sama-sama (merasakan) rezeki itu. Mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 71)
Betapa banyak orang yang enggan berbagi dan merasa bahwa rezeki itu hasil jerih payahnya semata, bukan pemberian dari Allah. Inilah bentuk keangkuhan yang harus dihindari.
Allah juga menegaskan:
“Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Al-Baqarah: 212)
Dan juga:
“Katakanlah, ‘Sungguh, Tuhanku melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasinya (bagi siapa yang Dia kehendaki), tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’” (QS. Saba’: 36)
Kedua ayat ini menjadi pengingat bahwa pelapangan dan penyempitan rezeki adalah hak prerogatif Allah, dan manusia seringkali tidak memahami hikmah di balik itu semua.
Penjelasan Ibnu Katsir
Ulama besar Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya menjelaskan:
“Allah memberikan rezeki kepada mereka sesuai dengan pilihan-Nya dan melihat mana yang lebih maslahat bagi mereka. Allah lebih tahu siapa yang pantas diberi kekayaan atau kefakiran. Semua itu sesuai dengan hikmah-Nya yang agung.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim 6:553)
Penjelasan ini memperkuat keyakinan kita bahwa segala ketetapan rezeki telah diperhitungkan Allah dengan sempurna dan adil.
Menjadi Hamba yang Bersyukur
Sayangnya, tidak semua manusia memahami dan menerima takdir rezeki dengan lapang dada. Sebagian besar malah mengeluh, iri, dan bahkan putus asa. Padahal, rezeki bukan hanya soal materi—melainkan juga berupa kesehatan, waktu luang, ilmu, keluarga, hingga ketenangan hati.
Maka, marilah kita menjadi hamba yang pandai bersyukur. Karena dengan bersyukur, Allah akan menambah nikmat-Nya.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS. Ibrahim: 7)
Penutup
Rezeki adalah jaminan dari Allah yang telah ditentukan dengan adil dan penuh hikmah. Setiap dari kita mendapatkan rezeki sesuai dengan kadar dan kebutuhan masing-masing. Tugas kita bukan mempertanyakan “mengapa”, tetapi mensyukuri dan menggunakannya sebaik mungkin.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita sebagai hamba yang selalu bersyukur dalam kelapangan maupun kesempitan. Aamiin. (*)