Hendaklah orang tua memanfaatkan perannya sebagai orang tua untuk berdoa bagi anak-anaknya. Rasulullah saw bersabda:
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang tidak tertolak yaitu do’a orang tua, do’a orang yang berpuasa dan do’a seorang musafir”. (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro)
Seperti contoh do’a Nabi Sulaiman عَلَيْهِ السَلاَمُ yang Allah تَعَالَىٰ firmankan dalam Al-Qur’an:
وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي
“… dan berikanlah keshalihan kepadaku (dengan juga memberikan keshalihan) kepada anak cucuku…❞ (QS. Al Ahqaf 15)
Atau doanya Nabi Ibrahim عَلَيْهِ السَلاَمُ :
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Wahai Tuhanku jadikanlah diriku dan anak cucuku termasuk orang yang tetap melaksanakan shalat, wahai Rabb kami perkenankanlah doaku”. (QS. Ibrahim 40)
Hendaklah orang tua selalu berdo’a kepada Allah agar mereka dan anak-anaknya dikumpulkan secara bersama-sama di surga kelak.
Betapa bahagia dan senangnya orang tua yang bisa berkumpul bersama dengan anak-anaknya di dunia, apalagi jika mereka dapat berkumpul dengan anak-anaknya di surga.
Yang kurang amalnya di antara mereka akan ditutupi dan disempurnakan Allah dengan yang sempurna amalnya.
Allah تَعَالَىٰ berfirman :
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dengan keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam Surga), dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal (kebajikan) mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (QS. Ath Thuur 21)
Ibnu Abbas رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ berkata : ”Sesungguhnya Allah benar-benar mengangkat (derajat) anak cucu orang yang beriman menjadi sederajat dengannya, meskipun amal anak cucu itu lebih rendah di bawahnya. Hal ini bertujuan agar keberadaan anak cucu mereka yang bersamanya akan membuat hatinya senang”.
Lalu ia membaca ayat d iatas Ath Thur 21.
Inilah karunia yang Allah تَعَالَىٰ berikan kepada para anak disebabkan oleh keberkahan amal orang tua mereka. Adapun keutamaan yang diberikan kepada para ayah, hal itu disebabkan oleh keberkahan doa anak-anak mereka. (Al Misbahul Munir fi Tahdzibi Tafsiri Ibni Katsir 1153)
جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ وَالْمَلائِكَةُ يَدْخُلُونَ عَلَيْهِمْ مِنْ كُلِّ بَابٍ
“…(yaitu) Surga surga Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang shalih dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya dan anak cucunya, sedangkan para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu”. (QS. Ar Ra’d 23)
Mendoakan anak-anak dapat memperbaiki keadaan mereka, menutupi kekurangan mereka, membenahi kesalahan merea, dan melindungi mereka dari keburukan dunia dan dan akhirat.
Al Fudhail bin Iyadh menginginkan anaknya menjadi anak yang shalih, wara’ dan bertaqwa, maka ia pun berdo’a kepada Allah تَعَالَىٰ :
”Ya Allah, aku sudah berusaha keras untuk mendidik ‘Ali, tetapi aku tidak mampu mendidiknya, maka didiklah dia untukku”.
Ia telah berupaya keras untuk mendidik anaknya dan memohon kepada Allah agar mendidiknya sebagai anak yang shalih.
Kemudian Allah mengabulkan permohonannya dan sang anak pun menjelma menadi pemuda yang dapat membantu ayahnya untuk menalankan taqwa, zuhud dan wara’.
Keduanya pergi bersama untuk melaksanakan shalat, menunaikan ibadah haji dan melakukan berbagai macam kebajikan.
Keduanya melaksanakan shalat malam dan puasa bersama, tanpa melupakan anggota keluarga lainnya. Sehingga rumah itu benar-benar menjadi rumah yang penuh kebajikan.
Kemudian ‘Ali bin al Fudhail bin Iyadh menjelma menjadi seorang ulama besar, seperti ayahnya yang dikenal dengan ilmu dan kezuhudannya.
Menurut Imam an Nasa’i : “‘Ali bin al Fudhail bin Iyadh adalah perawi yang terpercaya”.
Sementara al Hafidz Abu Bakar al Khathib berkata: ”Dia adalah orang yang sangat hati-hati dalam urusan halal haram”.
Abdullah bin Mubarak berkata: ”Orang yang paling baik adalah al Fudhail bin Iyadh. Tetapi putranya ‘Ali lebih baik darinya”.
Sedangkan Sufyan bin Uyainah berkata :”Aku tidak pernah bertemu dengan orang yang rasa takutnya kepada Allah lebih besar dari al Fudhail dan puteranya”.
Ali bin Al Fudhail pernah berada di dekat Sufyan bin Uyainah yang ketika itu dia sedang menyebutkan hadits tentang neraka, sementara di tangan ‘Ali ada sebuah kertas yang terikat.
Lalu Ali menarik nafas panjang dan kertas yang dipegangnya pun terjatuh.
Sufyan menoleh ke arahnya lalu berkata, ”Sekiranya aku tahu engkau ada di sini tentu aku tidak akan menyebutkan hadits tentang Neraka”.
Lalu Ali tidak sadar (pingsan) selama waktu yang Allah kehendaki. (Az Zuhud 965, Imam Ahmad). (*)