Wasathiyah: Kunci Sukses Hidup, Bukan Sekadar Slogan

Wasathiyah: Kunci Sukses Hidup, Bukan Sekadar Slogan

Dalam Pengkajian Ramadan 1446 H yang digelar oleh Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Jumat (7/3/2025), Ustaz Adi Hidayat (UAH) menegaskan bahwa konsep Wasathiyah adalah kunci utama dalam transformasi umat Islam menuju keunggulan dunia dan akhirat.

Dalam ceramahnya, Wakil Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ini tidak hanya membahas definisi dan landasan Al-Qur’an tentang Wasathiyah, tetapi juga memberikan bukti sejarah serta panduan aplikatif untuk kehidupan sehari-hari.

Mengawali pemaparannya, UAH menjelaskan bahwa Wasathiyah berasal dari kata “wasathH” yang berarti tengah, melambangkan keseimbangan dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan. Ia membedakan antara “wasatHun” sebagai posisi tengah secara fisik dan “Wasathiyah” sebagai karakter yang ideal.

“Wasathiyah adalah karakter yang menjadikan seseorang sebagai acuan kebenaran, seperti seorang wasit yang netral dan diikuti oleh semua pihak,” ujar UAH.

Ia juga menegaskan bahwa konsep ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, terutama dalam Surah Al-Baqarah ayat 143, yang menyebutkan istilah “ummatan wasatHan” untuk menggambarkan umat Islam yang memiliki keseimbangan dalam menjalani kehidupan.

“Keunggulan umat Islam bukan ditentukan oleh tempat atau keturunan, melainkan oleh karakter Wasathiyah yang seimbang dan adil,” jelasnya.

Lebih lanjut, Ustaz Adi menyoroti bagaimana konsep Wasathiyah telah terbukti membawa perubahan besar dalam sejarah Islam.

Dia mencontohkan transformasi masyarakat Makkah dan Yatrib di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW yang dalam waktu singkat berhasil membangun peradaban unggul di Madinah.

“Nabi Muhammad saw membangun peradaban dari nol dengan menjadikan masjid sebagai pusat pendidikan spiritual, intelektual, dan fisik,” ungkapnya.

UAH juga menyoroti bagaimana Wasathiyah berperan dalam penyebaran Islam ke berbagai wilayah, seperti Afrika Utara, Andalusia, hingga Nusantara, yang dilakukan dengan pendekatan damai melalui kebaikan dan keteladanan.

Dalam konteks modern, UAH mengajak umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah, untuk merefleksikan sejauh mana Wasathiyah telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Mengapa umat Islam di Indonesia, dengan jumlah yang besar dan Al-Qur’an yang sama, belum mampu mencapai keunggulan seperti generasi awal Islam? Boleh jadi Wasathiyah hanya menjadi klaim, bukan praktik,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa keseimbangan dalam sikap beragama adalah kunci, agar umat Islam tidak bersikap terlalu keras seperti yang disebutkan dalam tafsir At-Thabari mengenai Yahudi, maupun terlalu lunak seperti Nasrani.

“Wasathiyah harus menjadi sikap nyata, bukan sekadar slogan. Kita harus menjadi teladan dunia dan saksi kebenaran ajaran Nabi di akhirat,” tegasnya.

Sebagai penutup, UAH menegaskan bahwa Al-Qur’an adalah sumber utama Wasathiyah dan berfungsi sebagai kurikulum hidup dari lahir hingga akhir hayat.

“Jika kita benar-benar mengamalkan Wasathiyah, kita akan menjadi manusia unggul di dunia dan akhirat,” pungkasnya. (wh)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *