*Oleh: Kumara Adji Kusuma
(Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dan Wakil Ketua Majelis Tabligh PDM Sidoarjo)
Apa yang menghubungkan makhluk dengan Sang Khalik? Jawabannya tidak lain adalah aktivitas zikir (ذِكْر ), yaitu mengingat Tuhan, Allah SWT ( ذِكْرُ اللَّهِ ). Dzikirullah merupakan wujud dari keterhubungan manusia dengan Penciptanya.
Melalui aktivitas mengingat tersebut, seorang hamba menyadari akan Tuhannya, sehingga terhubunglah ia dengan Rabbnya. Allah SWT dalam firmanNya memberitahukan bahwa barang siapa yang mengingat Allah maka Allah akan mengingatnya (QS. Al-Baqarah: 152).
Hal tersebut ditegaskan oleh Rasulullah SAW, dalam sebuah hadits beliau menyampaikan sabda Allah, “Aku bersama hamba-Ku ketika ia mengingat-Ku” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lainya, Rasulullah menyampaikan bahwa jika hamba Allah mendekatiNya dengan berjalan, maka Allah akan mendekatinya dengan berlari (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan kata lain, barang siapa yang menautkan dirinya, melalui zikir kepada Allah, maka Allah akan menyambut tautan itu. Dan sebaliknya, barang siapa yang melepaskan tautan tersebut, tentu ini menjadi keputusan pribadinya. Sehingga seorang yang beriman kepada Allah adalah orang yang selalu berusaha untuk menautkan dirinya kepada Penciptanya yang sekaligus tujuan akhir kehidupannya (QS. Al-Alaq: 8).
Aktivitas zikrullah memberikan pembedaan yang signifikan tentang hakikat eksistensi hidup seorang manusia. Secara hakikat, seorang hamba akan disebut hidup adalah ketika ia sedang berzikir.
Seperti disampaikan Nabi SAW melalui sahabat beliau Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan orang yang mengingat Tuhannya dengan orang yang tidak mengingat Tuhannya adalah seperti orang yang hidup dan orang yang mati.” (HR. Bukhari dan Muslim). Karena itu seorang muslim akan senantiasa berusaha di setiap waktu dan tempat untuk mengingat Allah. Inilah hakikat hidup sebenarnya, ketika kita terhubung dengan Allah SWT.
Tanpa zikrullah, yakni dalam pengertian seseorang yang mengabaikan Tuhannya hingga lupa dengan hakikat kediriannya (QS. Al-Hasyr: 19), maka ia akan menyatu dengan dunia, sehingga hanya tubuhnya biologisnya yang berfungsi. Secara hakikat ia ada dalam kematian.
Dengan mengingat sang Mahahidup, seorang hamba akan memiliki kehidupan yang sebenarnya, karena Allah yang akan membersamainya. Inilah hakikat hidup dalam dunia yang fana. Dengan menghadirkan Allah yang Mahahidup melalui dzikir kepadaNya, maka kehidupan di dunia ini mengalami hidup yang sejati. Hidup di dunia ini pun menjadi berarti, bermakna, dan layak untuk dijalani.
Dengan berzikir, orang beriman akan memperoleh kekuatan untuk menjalani dunia (QS. Ali ‘Imran: 139). Dengan mengingat Allah orang beriman menyadari bahwa kehidupan yang benar adalah berlandaskan pada kepasrahan hanya kepada kehendak Allah SWT.
Kepasrahan inilah yang menghidupkan/menyalakan kekuatan sebenarnya dalam diri seorang hamba dalam menjalani kehidupan dunia (QS. At-Talaq: 3). Dzikir ini mengarahkan manusia untuk senantiasa mendekat kepada Allah Yang Mahaesa yang merupakan sumber kekuatan sejati.
Dengan kekuatan tersebut, seorang hamba menyatakan pelepasan diri atas dunia dengan ketundukan dan pengakuan terhadap kekuasaan Sang Pencipta disertai dengan semangat untuk mengikuti seluruh perintahNya dan menjauhi seluruh laranganNya.
Keterlekatan diri pada dunia dengan mengikuti permainan dunia (QS. Al-Ankabut: 64) hanya membuat orang terombang-ambing sehingga muncul rasa takut dan gelisah (Q 57:20). Dan Allah menegaskan bahwa hanya dengan mengingatNya, hati manusia menjadi tenteram (QS. Ar-Ra’d: 28).