Turunnya Surat Al-Alaq ayat 1-5 bukan saja sebagai penanda kerasulan Nabi Muhammad Saw. Tetapi ayat ini juga menjadi penanda bagi kaum muslimin untuk menjadi masyarakat yang terdidik (literate) dan beradab.
Iqra, perintah membaca itu menjadi bagian penting dalam konteks Bagaimana peradaban manusia itu dibangun menurut ajaran dan menurut peradaban Islam.
Hubungan peradaban dengan perintah Iqra’ itu secara konteks dapat dipahami jika melihat keadaan masyarakat Arab yang saat itu jahiliyah.
Menurutnya, Surat Al-Alaq ayat 1-5 berfungsi sebagai counter culture atau sebuah perlawanan budaya dari tradisi masyarakat Arab yang didominasi tradisi lisan kepada tradisi literasi, baca-tulis.
Meski pun masyarakat Arab saat itu memiliki tradisi lisan yang kuat seperti menyusun syair tentang silsilah keluarga, glorifikasi suku/kabilah, namun sebagian besar dari mereka adalah buta aksara.
Masyarakat Arab yang saat itu menguasai ilmu baca tulis jumlahnya sangat kecil.
Sebagian besarnya memang masyarakat yang yang tidak bisa membaca dan menulis.
Karena itu maka dalam dalam kaitan dengan perintah membaca yang diterima oleh Rasulullah Muhammad Saw itu sebenarnya Alquran ingin membangun budaya baru, bahwa masyarakat ini akan maju kalau masyarakat itu berubah dari tradisi lisan kepada tradisi membaca.
Penekanan terhadap budaya iqra’ atau literasi ini juga disiratkan dari perintah malaikat Jibril As yang berulang kepada Nabi Muhammad Saw untuk membaca (iqra’), kendati Nabi Muhammad Saw menurut sebagian ulama adalah nabi yang tidak bisa membaca dan menulis (ummiyun).
Perintah Iqra’ juga mengandung pesan agar Nabi Muhammad Saw membaca keadaan masyarakatnya yang dengan itu tugas menjalankan risalah kenabian menjadi lebih mudah.
Makna yang kedua dari membaca itu tidak sekadar kita riding the text, tetapi membaca itu artinya mengumpulkan fakta-fakta, meneliti, menghimpun informasi.
Dalam pengertian luas berarti jamaah mengumpulkan data, mengumpulkan fakta, dan seterusnya tapi kemudian data dan fakta itu diinterpretasi, diberikan makna sehingga dia menjadi bagian dari konstruksi dasar, konstruksi awal dari pengembangan ilmu pengetahuan.
Itulah kira-kira makna dari the power of reading dalam konteks yang luas dan dalam kaitan dengan bagaimana masyarakat itu berubah dari tradisi lisan kepada tradisi membaca.
Maka, peradaban kita ini bisa maju kalau kita ini memang punya habit punya kebiasaan membaca karena jendela ilmu itu kan sebagiannya dari kita membaca.
Masyarakat yang maju adalah masyarakat yang memang memiliki habit, punya kebiasaan membaca. Kemudian yang kedua punya budaya membaca dan yang ketiga punya budaya peneliti.
Literasi Rendah
Menurut Program for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh OECD, Indonesia menjadi bagian dari 10 negara yang memiliki tingkat literasi rendah di tahun 2019, yakni di peringkat 62 dari 70 negara.
Minimnya minat baca ini berasal dari kuatnya tradisi lisan masyarakat Indonesia untuk bercengkerama. Hampir setiap suku memiliki tradisi ngobrol dalam istilahnya masing-masing.
Orang Indonesia itu kan paling suka ngobrol, kan? Kayak heboh aja. Kalau ngobrol yang penting enggak apa-apa, tapi kadang-kadang ngobrolnya enggak penting sehingga orang Indonesia itu di mana-mana kan ngobrol.
Kenyataan ini harus mulai diubah dengan menggerakkan masyarakat kepada budaya yang lebih produktif, yaitu budaya membaca berbagai hal yang positif dari bacaan yang ringan, lalu meningkat ke karya sastra, buku filsafat, atau hasil penelitian.
Karena itu, membaca itu juga tidak harus banyak tidak harus banyak, yang penting rutinitasnya itu rutinitas membaca sehingga karena itu maka kalau kita punya kebiasaan membaca, maka kita akan menjadi orang yang senantiasa meng-update ilmu.
Mengubah kebiasaan memang berat, namun bangsa Indonesia harus memulainya, lebih-lebih bagi umat Islam dan warga Muhammadiyah.
Surat Al-Alaq ayat 1-5 kata dia adalah inspirasi dan dorongan agar umat Islam menjadi masyarakat ilmu atau komunitas terdidik.
Membaca itu juga memikirkan, merenungkan. Sehingga dalam proses membaca itu tidak sekadar reading out loud. Tidak sekadar membaca sesuatu dengan dengan keras, tetapi membaca yang memikirkan ini maksudnya apa?
Bacaan ini isinya apa? Maknanya apa? dan itu menjadi bagian dari proses membaca.
Jika membaca telah menjadi kebiasaan masyarakat, bangsa Indonesia akan lebih mudah maju dan bersaing sebagai bangsa yang lebih beradab.
Sebaliknya jika masyarakat masih kuat dalam tradisi ngobrol dan minim literasi, maka posisi Indonesia akan sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Kalau orang itu bicara terus, omdo (omong doang), memang tidak menimbulkan dan tidak melahirkan jejak-jejak budaya dan peradaban.
Karena itu, perintah membaca menjadi bagian dari tonggak penting bagaimana peradaban Islam dibangun dan bagaimana peradaban manusia itu menjadi bagian dari proses yang konstruksinya dalam budaya masyarakat itu adalah budaya baca. (*)
(Disarikan dari ceramah Prof Abdul Mu’ti yang dirilis muhammadiyah.or.id)