Berdasarkan ayat 184 surat Al Baqarah, kebolehan membayar fidyah bagi orang yang tak mampu puasa di bulan Ramadan itu dengan memberikan makan bagi fakir miskin (tha’aamu miskin).
Berdasar riwayat yang ditakhrijkan Abu Dawud dari Ibnu Abbas, ditetapkan bagi orang yang menyusui dan orang yang mengandung untuk tidak puasa dan membayar fidyah dengan memberikan makanan setiap hari kepada seorang miskin.
Menurut riwayat Al Bukhari dari Abu Hurairah ketika Nabi didatangi orang yang harus membayar denda (kafarah) karena melakukan sesuatu yang merusak puasanya, padahal ia tak mampu membayar fidyah itu, maka Nabi memberinya tamar.
Menurut ‘uruf bahasa, tamar itu berarti kurma yang sudah masak, bukan kurma yang masih basah yang belum siap dimakan.
Namun kalau dibandingkan dengan beras sebagai makanan pokok, maka tamar itu makanan yang masaknya alami bukan karena direbus sebagaimana beras yang belum dimasak.
Dengan memahami yang demikian itu, kita mendapat pengertian bahwa membayar fidyah bagi orang yang tak mampu berpuasa itu dengan memberikan makanan bagi fakir miskin berupa makanan yang dapat dimakan secara langsung maupun dapat disimpan sebagaimana tamar atau kurma tadi.
Tetapi mengingat di Indonesia kurma bukan makanan yang pokok sehingga sukar mencari dan yang menerima juga tidak merasakannya sebagai makanan pokok, maka dalam pemahaman ith’amu tha’ amil miskin dapat diluaskan, yakni makanan yang masih mentah maupun yang telah dimasak dari makanan pokok sehari-hari.
Kalau memberikan makanan yang telah dimasak akan membawa konsekuensi memberikan tambahan lauk-pauknya karena makanan nasi saja sukar dilaksanakan menurut lidah Indonesia.
Sehingga memberikan fidyah beras lebih utama, karena masih dapat disimpan dan dapat dimasak menurut selera si penerima. (*)
Sumber: muhammadiyah.or.id