Kalau kita bersikap apatis dan tidak peduli dengan dinamika perpolitikan di Tanah Air nanti akan dikuasai oleh orang-orang nonmuslim yang anti Islam.
Lebih parah lagi kalau yang berkuasa nanti adalah orang-orang ateis, kafir, munafik yang zalim dan jahûl (bodoh sekali).
Maka menurut pandangan saya, wajib bagi umat Islam untuk berpolitik. Kalau sudah ada sebagian umat Islam yang terjun di dunia politik, maka yang lain sudah tidak wajib.
Akan tetapi kalau tidak ada yang mau berpolitik, maka semuanya berdosa. Karena di dalam politik itu terdapat kemaslahatan dan kemudaratan umat Islam dan bangsa Indonesia.
Lewat politik kita bisa mengatur kebijakan publik yang mengatur hajat hidup orang banyak terkait kesejahteraan rakyat, ekonomi, kerukunan beragama dan hal-hal positif lainnya.
Dalam berpolitik untuk mendapatkan kekuasaan bisa benar atau salah bergantung dari niat orangnya. Sama halnya dengan hijrah.
Jika seorang muslim berhijrah dari suatu tempat ke tempat lain karena niatnya tulus demi Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan rida Allah dan kebenaran Rasul-Nya.
Kalau niatnya untuk mendapatkan kekayaan, dia akan mendapatkannya tapi tidak mendapat rida Allah dan Rasul-Nya.
Jadi, apabila seseorang berpolitik untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam, agama Islam dan rakyat, maka itu adalah jihad fi sabilillah.
Sebenarnya menurut Islam sejak zaman khulafaurrasyidin orang yang dipercaya untuk memilih pemimpin, presiden atau kepala negara itu adalah ahlu al-Halli wa al-‘Aqdi, yaitu beberapa orang-orang yang alim, bijak, bersih dan netral.
Tapi kenyataannya di zaman sekarang ini kita menganut sistem demokrasi, maka seluruh rakyat bisa memilih secara langsung perwakilan mereka yang akan menduduki kursi jabatan strategis di pemerintahan.