Ternyata dalam praktik pemilihan umum ini banyak dari para calon pemimpin yang bersaing untuk meraup suara sebanyak-banyaknya dari masyarakat, sehingga mereka terkadang memberikan hibah untuk mendapatkan suara dari calon pemilih.
Di sini kita perlu melihat situasinya, sebab dan musababnya serta maslahat dan mudaratnya.
Pertama, hal itu hukumnya haram kalau harta yang akan diberikan kepada para calon pemilih itu adalah harta haram yang diperoleh dari korupsi, mencuri, dan menipu.
Kedua, kalau hal itu hanya semata-mata untuk kepentingan duniawi dirinya. Tetapi hal itu bisa menjadi suatu kebaikan, bahkan Jihâd bi al-Mâl (jihad harta) kalau ternyata umpamanya semua lawan-lawan politik kita ini melakukan hal itu dan mereka itu orang-orang yang anti Islam, kafir, komunis, zalim.
Dan kita ingin menegakkan keadilan, tapi ternyata banyak di antara para calon pemilih kita itu orang-orang bodoh dan tidak mengerti.
Mereka hanya mau memilih calon pemimpin yang memberi uang. Maka kita diperbolehkan memberi uang kepada mereka untuk kebaikan.
Jangan sampai orang-orang kafir dan zalim yang menang dan terpilih menjadi anggota dewan atau presiden itu karena mereka memberi uang kepada para pemilih.
Jika orang Islam yang akan dipilih tidak memberi uang maka dia akan kalah dalam kontestasi politik.
Jadi hibah politik diperbolehkan asal dengan dua syarat di atas, yaitu lawan-lawan politik kita dari kalangan nonmuslim yang anti Islam, kafir dan zalim.
Kemudian kita melakukan hal itu demi menegakkan keadilan dan syariat Islam di masyarakat, bangsa dan negara. (*)
Sumber: Majalah Matan Edisi 210, Januari 2024
Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News