Grand Launching Pondok Pesantren Internasional Abdul Malik Fadjar (PPI AMF) yang berlokasi di Karangploso, Kabupaten Malang dilaksanakan, Rabu (21/2/2024).
Peresmian dihadiri Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir, Menko PMK Prof Muhadjir Effendi, Ketua PWM Dr. Sukadiono MM, Prof Fauzan (mantan Rektor UMM), Hj. Nurjanah Malik Fajar (istri Abdul Malik Fadjar), Dr Suprat (Direktur PPI AMF), Fiona Hoggart (Konjen Australia di Surabaya), dan jajaran PWM Jatim.
Grand Launching ditandai dengan penyerahan kunci digital kepada Haedar Nashir, kemudian lanjutkan dengan tap screen digital dan penandatanganan prasasti. Konjen Australia menyerahkan plakat sebagai apresiasi terhadap pendidian PPI AMM.
Dalam sambutannya, Haedar Nashir menyampaikan terima kasih kepada UMM yang telah menyerahkan aset gedung yang representatif ini kepada Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim yang kemudian mengelolanya menjadi PPI AMF.
Secara khusus, Haedar juga menyampaikan terima kasih kepada Ibu Malik Fadjar yang memberikan keleluasaan untuk memakai nama Prof Abdul Malik Fadjar.
“Beliau sosok yang saya takzimi. Kita tahu kiprah, perjuangan, dan kontribusi beliau. Bukan hanya di pendidikan Muhammadiyah tapi juga pendidikan nasional. Termasuk yang merintis pendirian UMM hingga menjadi universitas bertaraf internasional,” tutur Haedar.
Baca juga: Muhadjir: Ponpes Abdul Malik Fadjar Harus Menginspirasi
Haedar lantas mengutip tiga amal yang pahalanya tidak terputus walaupun kita sudah meninggal dunia, yakni sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang saleh.
Dia juga bersaksi tentang sosok Malik Fadjar yang jadi panutan. Tahun 2000, dia bersama Malik Fadjar menjadi anggota PP Muhammadiyah.
Banyak keteladanan yang bisa dipetik dari sosok Malik Fadjar yang selalu menampilkan diri tak banyak kata, tapi menunjukkan ada amal yang nyata.
“Saya ingat, beliau bilang kalau bermuhammadiyah itu harus luas dan melampaui. Jangan berada di lorong sempit,” tutur Haedar
Dikatakan Haedar, tidak banyak tokoh di Muhammadiyah yang namanya dilekatkan pada lembaga pendidikan maupun rumah sakit. Yang ada nama KH Ahmad Dahlan atau Hamka.
Karena itu, sebut dia, nama pondok ini merupakan pentakziman yang nilainya melampaui dibandingkan yang ada selama ini.
“Pondok ini memakai nama besar yang ditandai dengan standing yang tinggi. Termasuk dengan rekomendasi. Siapa pun, bahkan ketua umum, kalau bikin rekomendasi dan tidak layak diterima, ya jangan diterima,” tegas Haedar.
Menurut Haedar, sekolah Muhammadiyah pada umumnya merakyat. Tapi Muhammadiyah terlalu baik, sehingga lupa dengan yang elite.
“Sebenarnya tidak masalah, karena yang elite juga bagian dari keperluan dakwah. Dan mereka harus memperoleh sinar rahmatan lil alamin,” ujarnya.
Kata Haedar, di Muhammadiyah tidak ada stratifikasi sosial. Semua dirangkul.
Maka, tidak masalah kalau Muhammadiyah bikin sekolah internasional, memakai standar tinggi, dan levelnya elite.
“Saatnya Muhammadiyah masuk sekolah level ini. Harus ada sekolah elitis. Bahkan juga rumah sakit bertaraf internasional. Tapi mindset-nya harus Islam berkemajuan,” tegasnya.