Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah sebagai bukti kedustaan seseorang bila ia menceritakan segala hal yang ia dengar.”(HR. Muslim)
4. Ketika ada berita yang terbukti kebenarannya pun, kita tidak boleh asal-asalkan menyebarkannya ke publik secara luas, karena tidak semua berita harus disebarkan ke publik dan manusia secara umum.
Harus menimbang maslahat dan mafsadatnya. Hal ini berlaku untuk berita baik maupun berita buruk.
Terdapat hadis bahwa ada kabar gembira dari Rasulullah shallallahu ‘aiahi wa sallam kepada Mu’adz bahwa semua orang yang yang bersyahadat (selama syahdatnya tidak batal) dengan jujur pasti Allah haramkan neraka baginya.
Kemudian Mu’adz dengan semangat ingin menyebarkan, tetapi ditahan oleh beliau karena berita ini jika disebarkan pada saat itu dan kondisi itu akan membuat manusia malas beramal.
Mu’adz pun menahan berita gembira ini dan menyampaikannya menjelang kematiannya.
Dari Anas bin Malikradhiallahu’anhu, beliau mengisahkan bahwa suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memboncengkan Mu’adz di atas seekor binatang tunggangan (keledai bernama ‘Ufair).
Nabi berkata, “Wahai Mu’adz.”
Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.”
Lalu Nabi berkata, “Hai Mu’adz.”
Mu’adz menjawab, “Kupenuhi panggilanmu dengan senang hati, wahai Rasulullah.” Sampai tiga kali.
Lalu Nabi bersabda, “Tidak ada seorang pun yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah secara jujur dari dalam hatinya kecuali Allah pasti mengharamkan dia tersentuh api neraka.”
Mu’adz berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tidak sebaiknya saya menyampaikan kabar ini kepada orang-orang agar mereka bergembira?”
Beliau menjawab, “Kalau hal itu disampaikan, nantinya mereka justru bersandar kepadanya (malas beramal)?”
Menjelang kematiannya, Mu’adz pun menyampaikan hadis ini karena khawatir terjerumus dalam dosa (akibat menyembunyikan ilmu). (HR. Bukhari dan Muslim)