Para ulama dan fukaha telah sepakat mengenai penggunaan hisab dalam menentukan waktu salat dan arah kiblat.
Namun demikian, terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan waktu masuknya bulan Ramadan dan Syawal.
Sebagian fukaha menegaskan bahwa hisab tidak boleh digunakan untuk menentukan awal puasa Ramadan dan Idulfitri.
Mereka mengutip perintah Nabi saw untuk melakukan rukyat sebagai metode penetapan yang sah.
Mereka menekankan bahwa puasa Ramadan dan Idulfitri seharusnya tidak dimulai sebelum dilakukan rukyat.
Berikut hadis yang biasa dikutip: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan beridulfitrilah karena melihat hilal pula; jika bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan Syakban tiga puluh hari.” [HR al-Bukhari, dan lafal di atas adalah lafalnya, dan juga diriwayatkan Muslim].
Demikian pula dengan hadis ini: “Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat hilal dan janganlah kamu beridulfitri sebelum melihat hilal; jika Bulan terhalang oleh awan terhadapmu, maka estimasikanlah.” [HR al-Bukhari dan Muslim].
Namun, pandangan bahwa rukyat sebagai penentu awal bulan Kamariah ini tidaklah konsensus.
Sebagian ulama dan fukaha mendukung penggunaan hisab sebagai metode yang lebih akurat dan dapat diandalkan.
Mereka bahkan memandang penggunaan hisab sebagai pilihan yang lebih baik, mengingat dapat menjamin akurasi dan ketepatan dalam penetapan waktu ibadah.
Ada yang lebih jauh, dengan menyatakan bahwa pada prinsipnya, penetapan bulan kamariah harus dilakukan melalui hisab.