***
Dalil sendiri, seperti yang disebutkan dalam kitab Alluma’ karya Imam Syairazi maknanya adalah petunjuk menuju sesuatu yang diinginkan.
Di ushul fikih, maksud dari dalil itu adalah petunjuk untuk mengetahui ketentuan hukum fikih.
Para ulama memberikan urutan-urutan terkait petunjuk tadi, bermula dari Al-Qur’an, lalu sunah, lalu ijmak, lalu kiyas.
Empat dalil tadi sudah menjadi “kesepakatan” para ulama ushul. Setelah ini, Imam Syairazi meletakkan istishab dan Kyai bagi orang awam.
Terkait kiai yang dijadikan dalil bagi orang awam, ternyata tidak hanya terdapat dalam kitab al-Luma’.
Sebelumnya, imam Haramain dalam kitab Waraqat juga menyebutkan yang sama. Bahkan Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah pun, menyatakan bahwa dalilnya orang awam itu adalah kiainya.
Mengapa demikian? Karena orang awam tidak tahu apa itu dalil. Bagi mereka, yang terpenting dapat menjalankan perintah Allah dan rasul-Nya.
Jika mereka diberi dalil, mereka malah akan bingung. Apalagi dalil itu, bukan sekadar Al-Qur’an dan sunah saja.
Dalil sangat banyak. Inti dari dalil adalah petunjuk kepada ketentuan hukum itu.
***
Tiga paragraf tulisan dari ustaz Wahyudi Abdurrahim, sekretaris Majelis Tarjih PP ini sungguh menarik terutama bagi yang dikit-dikit bilang dalilnya mana? Atau yang selalu gandrung dengan jargon kembali kepada Al Quran dan As Sunah.
Orang macam saya dengan kemampuan membaca apalagi memahami isi Al-Qur’an dan hadis pas-pasan tak mungkin berijtihad. Anjuran kembali kepada Al-Qur’an dan hadis terasa kian membingungkan dan tidak dimengerti.
Bagi kebanyakan awam, anjuran ini terkesan sangat apologetik jauh di langit tujuh. Mereka cukup melihat kiainya cara mengambil wudu, cara mengerjakan salat, cara makan dan duduk bahkan mengenakan kopiah atau sarung itulah dalil bagi kalangan awam.
Orang awam tak perlu diajak bahas tentang ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat atau hadis sahih dan daif, mereka akan tambah bingung jika dikatakan ada hadis palsu.