Ketika Al-Qur’an dipahami dengan memaksimalkan peran akal, maka akan mengungkap berbagai hikmah yang selama ini terkubur.
Para sahabat benar-benar percaya bahwa men-tadabburi isinya, maka Allah akan mengagungkan kepada siapa pun.
Allah telah mengagungkan para sahabat, dan para penerusnya ketika menjadi Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya.
Mereka sangat percaya bahwa di dalam Al-Qur’an tidak ada pertentangan karena yang menciptakan merupakan sumber segala sumber kemaslahatan. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya:
اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰ نَ ۗ وَلَوْ كَا نَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَا فًا كَثِيْرًا
“Maka tidakkah mereka menghayati (mendalami) Al-Qur’an? sekiranya (Al-Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.” (QS. An-Nisa’ : 82)
Bilamana menginginkan jalan keluar dari segala problem maka harus men-tadabburi Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai pedoman dalam mengambil keputusan.
Nabi dan para sahabatnya senantiasa membaca Al-Qur’an disertai dengan meminta hidayah agar terhindar dari kemurkaan dan penyesatan.
Al-Qur’an diibaratkan batu yang bersinar. Batu ini bukan hanya menyinari dirinya tetapi menyinari orang lain.
Kalau seseorang di dunia ini menemukan batu yang bersinar, dan mampu menyinari sekitarnya, maka pihak mana pun akan membeli dan menghargainya dengan sangat mahal serta mengagungkan setinggi-tingginya.
Namun ketika Al-Qur’an datang tidak banyak manusia yang mengaungkannya, kecuali sedikit saja. Bahkan ketika hatinya diliputi keraguan, maka muncul berbagai keraguan dan memperolok-olokannya.