Keenam: Ada keutamaan berzikir saat orang-orang itu lalai.
Abu ‘Ubaidah bin ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ketika hati seseorang terus berdzikir pada Allah maka ia seperti berada dalam salat. Jika ia berada di pasar lalu ia menggerakkan kedua bibirnya untuk berdzikir, maka itu lebih baik.” (Lihat Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2: 524).
Di sini dinyatakan lebih baik karena orang yang berzikir di pasar berarti berzikir di kala orang-orang lalai.
Para pedagang dan konsumen tentu lebih sibuk dengan tawar menawar mereka dan jarang yang ambil peduli untuk sedikit mengingat Allah barang sejenak.
Kehidupan para sahabat dan tabiin luar biasa untuk ketekunan, kekhusuan dan istikamah mereka dalam ibadah mahdhoh.
Ibnu Rajab Al-Hambali melukiskan tentang amalan mereka ada yang bersengaja ke pasar hanya untuk berdzikir di sekitar orang-orang yang sedang bertransaksi.
Ibnu Rajab menceritakan bahwa ada dua orang yang sempat berjumpa di pasar. Lalu salah satu dari mereka berkata, “Mari sini, mari kita mengingat Allah di saat orang-orang pada lalai dari-Nya.”
Mereka pun menepi dan menjauh dari keramaian, lantas mereka pun mengingat Allah. Lalu mereka berpisah dan salah satu dari mereka meninggal dunia. Dalam mimpi, salah satunya bertemu lagi dengan temannya.
Di mimpi tersebut, temannya berkata, “Aku merasakan bahwa Allah mengampuni dosa kita di sore itu dikarenakan kita berjumpa di pasar dan ketika itu kita berdua melakukan dzikir.” (Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, 2:524)
Ketujuh: Allah telah mewajibkan pada kaum muslimin untuk berzikir kepada Allah pada siang dan malam dengan mengerjakan salat lima waktu pada waktunya.
Dari salat lima waktu itu ada salat rawatib (qabliyah dan bakdiyah), di mana shalat rawatib itu berfungsi sebagai penutup kekurangan atau sebagai tambahan dari yang wajib.
Kedelapan: Antara salat isya dan salat subuh ada salat malam dan salat witir. Antara salat subuh dan salat zuhur ada salat duha.