Ketika rasul menawarkan petunjuk, para pembesar bukan hanya menolak tetapi mempertentangkannya dengan tradisinya.
Mereka mempertahankan tradisi secara membabi buta dengan memberi stigma buruk pada petunjuk.
Bahkan para pemuka masyarakat mengajak pengikutnya secara masif untuk menolaknya.
Tawaran Mutiara Petunjuk
Rasul datang menawarkan Mutiara indah dan kenikmatan abadi berupa Petunjuk. Alih-alih menerima dengan lapang data, mereka justru tetap kokoh dengan Tradisi buruknya. Mereka bahkan berikrar menolak petunjuk dan siap mempertahankan tradisi buruknya.
Hal ini diabadikan Allah sebagaimana firman-Nya:;
قٰلَ اَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِاَ هْدٰى مِمَّا وَجَدْتُّمْ عَلَيْهِ اٰبَآءَكُمْ ۗ قَا لُوْۤا اِنَّا بِمَاۤ اُرْسِلْـتُمْ بِهٖ كٰفِرُوْنَ
“(Rasul itu) berkata, “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.” (QS. Az-Zukhruf : 24)
Para pembesar itu sengaja mempertahankan apa-apa yang didapati dari nenek moyang mereka.
Nenek moyang diyakini telah mewariskan petunjuk, dan selama ini telah menjadi siklus kehidupan.
Mereka hidup nyaman dengan mengagungkan arwah leluhur, dan dengan tradisi ini mereka merasa mendapatkan keberkahan hidup.
Dengan kata lain, tradisi yang selama ini berjalan telah membawa kesejahteraan, sehingga dengan petunjuk diyakini sebagai petaka baru.
Oleh karenanya, segala cara ditempuh untuk mempertahankan tradisi dan sekuat tenaga menolak petunjuk
Mereka pun meyakini bahwa kehidupannya nyaman, damai dan berkecukupan dengan mengagungkan tradisi yang turun menurun dari nenek moyangnya.
Ketika rasul datang untuk mengingatkan bahwa tradisi leluhur tidak bisa mendatangkan manfaat, mereka justru melawan perintah rasul.
Para konglomerat yang hidup dalam kemewahan menjadi panglima dalam menentang petunjuk rasul itu.
Hal ini sebagaimana firman-Nya :
وَكَذٰلِكَ مَاۤ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيْرٍ ۙ اِلَّا قَا لَ مُتْرَفُوْهَاۤ ۙ اِنَّا وَجَدْنَاۤ اٰبَآءَنَا عَلٰۤى اُمَّةٍ وَّاِنَّا عَلٰۤى اٰثٰرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ
“Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf : 23)
Gigih Dengan Petunjuk
Allah memberi contoh bagaimana Nabi Ibrahim dengan sendirian memberi peringatan kepada kaumnya yang menyimpang.
Nabi Ibrahim begitu gigih mengajak rakyatnya untuk menyembah hanya kepada Allah seraya meninggalkan penyembahan kepada patung.
Risiko yang ditanggungnya sangat membahayakan dirinya. Dia dibakar hidup-hidup. Namun Allah menolong hamba-Nya yang gigih dengan petunjuk-Nya sehingga membuat api dingin dan nyaman.
Apa yang dilakukan Nabi Muhammmad juga demikian. Berjuang sendirian untuk menyebarkan petunjuk hingga pertolongan Allah datang dengan memperoleh simpati dari para sahabat dan orang-orang yang lemah, sehingga tegaklah tauhid di bumi Jazirah Arab.
Allah mengajak kita untuk merenungkan akhir perjalanan para penentang petunjuk. Mereka mati terhina bersama tradisi yang mereka pertahankan. Hal ini dinarasikan Alquran sebagaimana firman-Nya :
فَا نْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَا نْظُرْ كَيْفَ كَا نَ عَا قِبَةُ الْمُكَذِّبِيْنَ
“Lalu Kami binasakan mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Az-Zukhruf : 25)
Apa yang terjadi di negeri ini juga demikian. Para penyebar dakwah tauhid mengalami perlawanan dari para pembela tradisi yang digawangi oleh para penikmat tradisi.
Tradisi ini membuat mereka mapan dan hidup nyaman. Mengagungkan tradisi leluhur dengan meminta doa keberkahan pada mereka dipandang sebagai akar kenyamanan hidup.
Mereka sekuat tenaga mempertahankan tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai tauhid itu dengan dalih merawat tradisi dan menolak petunjuk yang dipandang mengkoyak-koyak tradisi, serta merusak tatanan masyarakat yang sudah mapan.
Bahkan mereka berani melakukan stigma dakwah tauhid dengan menuding penyebar terorisme dan radikalisme.
Perjuangan menegakkan tauhid merupakan proses panjang dan membutuhkan energi besar karena para penentangnya membuat strategi dan cara untuk melumpuhkannya. (*)
*Dr. Slamet Muliono Redjosari, Wakil Ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah Jawa Timur