Menjadi Pejuang, bukan Pengecut
UM Surabaya

*) Oleh: Dr. Nurbani Yusuf

Seabad silam Max Webber membuat riset tentang The Protenstan Ethics yang fenomenal.

Webber hendak mejelaskan korelasi ajaran dengan perilaku kelompok komunitas, dengan variabel yang sangat banyak tapi dinamis.

***

Max Webber dalam bukunya yang sangat terkenal, Die Protestantiesche Ethik Under Geits Des Kapitalismus menjelaskan bahwa setiap orang sudah ditakdirkan apakah masuk surga atau neraka bergantung hasil pekerjaannya ketika hidup di dunia tanpa mengabaikan imbalan materialnya.

Hal mana kemudian menjadi picu bangkitnya kapitalisme Eropa. Penganut Protestan dikenal pekerja keras, hemat, dan kompetitif.

Etik Protestan menguasai dunia karena ingin masuk surga. Berbalik dengan ajaran sebagian istadz agar meninggalkan dunia agar bisa masuk surga.

Gerakan puritanisme yang digagas Martin Luther King dan Calvinis juga berpengaruh siginifikan terhadap keberagamaan orang Protestan di kemudian hari.

Tak urung Webber meneliti dan menuliskannya dalam sebuah buku menarik tentang etika Protestan yang menjadi embrio lahirnya kapitalisme dan liberalisme di Eropa di penghujung abad tengah.

***

Betapa luasnya Islam. Siapa pula bisa menjelaskan Islam secara kaffah? Siapa pula bisa menjadi model Islam otentik di masa sekarang. Sebab itu Islam bisa di dekati dengan banyak cara, beragam perspektif dan manhaj yang menyertai,

Maka jadilah Islam yang dipahami para ustaz dengan selera yang disukai. Ibarat kata Islam telah mengalami reduksi makna sesuai pemahaman setiap kita. Bukan Islamnya yang berubah tapi pemahaman kita tentang Islam yang berubah.

***

Seorang ustaz menjelaskan bahwa dunia itu tidak penting, dunia hanya sementara, dunia adalah penjara bagi orang mukmin, dunia dan isinya ibarat bangkai anak kambing cacat, dunia adalah surganya orang kafir lantas ribuan orang hijrah.

Bankir, saudagar kaya, pegawai kantor dan perusahaan, ahli komputer teknisi pesawat nakhoda dan mualim, tentara polisi meninggalkan pekerjaannya dan berebut menjadi marbot, tukang azan, menghafal Al-Qur’an, duduk menunggu berebut di shaf depan, makan seadanya dengan dua jari, puasa, dan berlomba panjangkan jenggut dan zikirnya,

Puluhan lainnya berebut menjadi martir. Menjadi “Pengantin” bersiap masuk surga dengan cara bunuh diri.

Berebut pada posisi pinggiran, memarginalkan diri karena takut subhat, uzlah mengasingkan diri untuk menjaga agar iman tidak terkontaminasi, selektif dalam berteman kemudian membuat halaqah kecil kecil tapi banyak, memandang yang berbeda dengan penuh curiga.

Membangun kesalehan virtual jauh dari realitas. Yang penting selamat bisa masuk surga dengan cepat.

Lebih baik dipaksa masuk surga daripada masuk neraka dengan sukarela. Etos ini dibangun untuk meninggalkan dunia, saya menyebutnya etos kalah, mengajak hidup sempit.

***

Siapa bilang harta dunia tidak dibawa mati? Siapa bilang rumah tanah tidak dibawa mati?

Harta yang disedekahkan, rumah dan tanah yang diwakafkan akan kita bawa mati, dan berkorelasi terhadap posisinya di surga.

Bankir yang tetap pada posisinya melawan riba dengan kebijakan yang diambilnya kemudian mati dalam posisinya jauh lebih mulia dari bankir yang melarikan diri dengan alasan takut dan menjauhi riba.

Saudagar kaya yang tetap pada posisinya, berjuang mewujudkan transaksi jual beli yang halal, kemudian mewakafkan harta bendanya untuk membangun masjid, rumah sakit, pesantren, rumah yatim untuk izzul Islam, jauh lebih mulia dibanding yang hanya duduk-duduk menunggu waktu salat.

Bukankah pahala bergantung pada berat dan ringannya ujian? Orang super sibuk dengan bermacam urusan bisa salat berjamaah tepat waktu di shaf depan sungguh sangat keren.

Bersedekah harta di saat masih sangat butuh dan takut bangkrut lebih keren di banding bersedekah di saat sakit dan menjelang sakaratul maut karena sudah tak lagi butuh harta.

Pejuang kalah dan gagal lebih baik dibanding pengecut dan penakut. (*)

Untuk mendapatkan update cepat silakan berlangganan di Google News

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini