Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-48 di Surakarta, Persyarikatan Muhammadiyah mulai menyasar akselerasi kemanfaatan lewat pengelolaan dan pendayagunaan wakaf yang lebih produktif.
Secara umum, peruntukan wakaf memiliki dua bentuk, yaitu wakaf sosial dan wakaf produktif. Meski prinsipnya sama, yaitu tidak mengubah pokok wakaf, namun keduanya memiliki ciri berbeda.
Wakaf sosial tidak mengacu pada perolehan keuntungan, sedangkan wakaf produktif mengumpulkan keuntungan/laba.
Wakaf sosial selama ini identik dengan 3 M, yakni madrasah, makam, dan masjid.
Sedangkan wakaf produktif bisa berbentuk amal usaha seperti hotel, peternakan, dan lain sebagainya.
Laba atau profit yang diperoleh dari pendayagunaan wakaf produktif itulah yang kemudian disalurkan untuk kemaslahatan umum.
Contoh wakaf produktif misalnya Hotel Zamzam Tower di dekat Masjidil Haram. Laba yang diperoleh dipergunakan untuk operasional Masjidil Haram.
Pengelolaan wakaf produktif seperti itulah yang kini dikejar oleh Persyarikatan Muhammadiyah.
Ini menjadi penting karena orang yang kita bantu banyak sekali. Kita menghasilkan profit banyak itu bukan untuk kita, tapi untuk masyarakat umum.
Makanya kita cari mana yang menghasilkan uang banyak untuk kita bagikan kembali bagi kemaslahatan umat,” jelasnya.
Saya optimistis akselerasi wakaf produktif tersebut dapat diwujudkan melihat pada ekosistem sumber daya manusia yang melimpah di banyak Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang dimiliki.
Meski pun perlu edukasi lebih luas pada masyarakat umum. Khususnya mereka yang mewakafkan hartanya kepada Persyarikatan Muhammadiyah.
Studi Kelayakan
Optimalisasi pendayagunaan aset wakaf yang dimiliki oleh Persyarikatan secara produktif sekarang sejatinya mampu membantu pemerintah dalam mengatasi berbagai permasalahan sosial hingga ekonomi.
Apalagi, aset wakaf yang dimiliki oleh Persyarikatan berjumlah fantastis. Pada 2021 saja, Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Agung Danarto menyatakan aset tanah Muhammadiyah yang tersebar berjumlah lebih dari 21 juta meter persegi.
Optimalisasi itu dapat dilaksanakan dengan melibatkan Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) di seluruh Tanah Air.
Misalnya, bagaimana kita membantu pemerintah mengurangi impor sapi, pada saat yang sama, Muhammadiyah punya banyak tanah wakaf kosong. Kenapa tidak kita lakukan feasibility studies (studi kelayakan) untuk tanah wakaf Muhammadiyah di Indonesia.
Optimisme saya karena melihat ekosistem dan modal yang dimiliki oleh Persyarikatan dari dana, infrastruktur hingga sumber daya manusia yang ada di PTMA.
Saya kira studi kelayakan terhadap aset-aset wakaf Muhammadiyah ini perlu dijadikan tugas terintegrasi bagi mahasiswa sekaligus dosen di PTMA untuk memperkirakan bentuk wakaf produktif seperti apa yang paling cocok dibangun.
Hasilnya nanti diberikan ke Persyarikatan sehingga tidak perlu lagi sewa konsultan. Kalau kemudian itu sudah banyak dilakukan, baru itu kemudian ada prioritas.
Dan kalau mau lebih detail lagi, baru bisa sewa konsultan karena kita ada seleksi.
Mahasiswa yang mempelajari mata kuliah feasibility studies juga akan memperoleh manfaat dengan turun ke lapangan secara langsung.
Di sisi lain, mereka akan membantu Persyarikatan sebagai nazhir wakaf untuk menentukan pengelolaan aset wakaf yang paling tepat dan produktif.
Bayangkan jika ini dilaksanakan oleh seluruh universitas Muhammadiyah di Tanah Air, itu hasilnya besar sekali.
Jika hal ini terlaksana, saya percaya Muhammadiyah dapat berperan besar dalam membantu pemerintah, termasuk menekan problem seperti impor sapi dan komoditas lainnya.
Muhammadiyah juga mampu membantu pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan jika studi kelayakan ini benar-benar dilaksanakan terhadap aset wakaf Persyarikatan.
Kalau itu banyak kita produktifkan, negara tidak perlu lagi impor, negara juga diuntungkan karena suplay banyak, harga turun, dan masyarakat bisa dapat nutrisi. (*)
(Disampaikan Dewan Pakar Majelis Pemberdayaan Wakaf PP Muhammadiyah, Prof. Raditya Sukmana dalam Program Teras di Youtube TVMU, 14 Mei 2023)