Hidup ini bukan tentang bagaimana memiliki yang kita cintai, tapi tentang bagaimana mencintai yang kita miliki.
Hidup ini sangatlah singkat, maka berbuatlah yang benar, berpikirlah yang benar, dan cintailah yang benar.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali semua makhluk.” (QS. An-Nuur: 42)
Sesungguhnya semua adalah milik Allah Azza wa Jalla dan semua akan kembali kepada Allah Azza wa Jalla. “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi.”
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di memberikan keterangan, maksudnya adalah Allah Azza wa Jalla menciptakan langit dan bumi. Allah Azza wa Jalla yang memberikan rezeki pula kepada langit dan bumi.
Allah Azza,wa Jalla juga yang mengatur langit dan bumi secara syar’i dan qadari. Semua harus tunduk pada aturan syariat Allah Azza wa Jalla dan semua yang Allah Azza wa Jalla tetapkan itu pasti terjadi.
Di bumi ini tempat kita beramal, sedangkan di akhirat adalah tempat amalan kita itu dibalas.
Sehingga dalam lanjutan ayat disebutkan, “dan kepada Allah lah kembali semua makhluk.” Artinya, kepada Allah Azza wa Jalla tempat kita kembali dan kita akan dibalas. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 600-601)
Di dunia ini tak ada sesuatu yang benar-benar abadi. Kita pun pasti pernah kehilangan materi, kesempatan, cinta, sampai orang-orang yang sangat kita sayangi.
Jangan pernah merasa memiliki, maka kita tak akan pernah merasa kehilangan. Kehilangan itu, konon rasanya sangat tidak enak.
Ia berbanding terbalik dengan memiliki yang konon rasanya sangat enak. Padahal, keduanya hanya sebuah “rasa”. Sesuatu yang tidak pernah abadi. Bahkan bisa absurd.
Siapakah yang paling merdeka hidupnya? Orang yang tidak pernah mempunyai rasa “memiliki” terhadap dunia dan segala isinya.
Semuanya hanyalah titipan dari Allah Azza wa Jalla, Sang Pemilik sesungguhnya. Harta benda, jabatan, kekuasaan, kesenangan dunia, cinta. Cepat atau lambat akan hilang binasa. Semua serba fana.
Inilah pentingnya istirja’ ketika musibah menimpa diri kita hingga kehilangan segalanya, yaitu mengucapkan:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهَ رَاجِعُوْنَ
“Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِيْنَ. الَّذِيْنَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُوْنَ
“Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah: 155-157)
Maka, mengapakah kita mesti resah bila kehilangan beberapa hal tersebut? Tidak lain karena rasa “memiliki” yang begitu besar pada hal-hal tersebut.
Jadi, bebaskan diri kita dari keresahan itu. Jangan pernah merasa memiliki, maka kita tak akan pernah merasa kehilangan.
Kehilangan sesuatu yang berharga dalam hidup memang berat. Semakin besar keterikatan kita padanya, semakin besar pula kepedihan yang akan kita rasakan.
Hal-hal penting itu mungkin tak serta merta kembali kepada kehidupan kita. Entah itu materi, kesempatan, sahabat, cinta, atau nyawa orang-orang yang kita sayangi.
Tapi, semoga saja dengan hanya mengharap rida-Nya, kita mampu lebih tabah, sabar dan ikhlas dalam menerima realitas kehidupan.
Karena pada dasarnya, tidak ada yang abadi di dunia ini. Semua akan meninggal, bahkan sekuat apa pun orang itu, termasuk diri kita sendiri.
Hanya saja, tak ada yang tahu siapa yang bakal meninggal duluan dan siapa yang ditinggalkan. Terkadang, yang ada di posisi ditinggallah yang merasakan pedih mendalam.
Padahal hidup harus terus berjalan. Sehingga mau tak mau, kita harus tetap belajar tabah, sabar dan ikhlas melepaskannya.
Seseorang yang pernah kehilangan sesuatu yang ia kira adalah miliknya selamanya, pada akhirnya akan menyadari bahwa tak ada satu pun di dunia ini yang benar-benar menjadi miliknya.
Pada hakikatnya segala apa pun yang kita miliki sebenarnya hanyalah titipan. Suatu saat nanti, semuanya akan diambil dari pelukan kita dan kembali ke Sang Pemilik kehidupan.
Allah Azza wa Jalla menciptakan semua hal dalam satu paket kehidupan. Ada bahagia, ada sedih. Ada pertemuan, ada perpisahan. Begitu pula dengan kepemilikan, pasti bakal diimbangi dengan kehilangan.
Tapi justru di situlah seninya hidup. Tanpa perpisahan, mungkin kita bakal sulit menikmati setiap pertemuan.
Tanpa kehilangan, boleh jadi kita juga susah menghargai apa yang menjadi milik kita saat ini.
Terimalah segalanya, bahkan kehidupan yang bahagia pun tak akan pernah ada tanpa sedikit kesedihan. Kata bahagia akan kehilangan maknanya jika tak diseimbangkan dengan kesedihan.
Akan lebih bijak jika kita menerima segalanya dengan ketabahan, kesabaran dan keikhlasan. Yaknilah bahwa sebenarnya kita membutuhkan kesedihan, sampai kehilangan dalam hidup.
Meski sering dianggap sebagai sesuatu yang tidak nyaman, tapi tanpa proses-proses tersebut, hidup ini tak bisa berjalan seimbang.
Ingatlah bahwa Allah Azza wa Jalla tak pernah menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia. Selalu ada hikmah dan pelajaran yang dapat dipetik darinya.
Meski berat, yakinlah bahwa kekecewaan yang kita alami tak akan berlangsung selamanya. Yang paling penting, jaga diri kita agar jangan sampai putus harapan.
Karena itulah yang bakal mendorong kita untuk maju. Harapan itu selalu ada selama kita tidak putus asa untuk meraihnya.
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istikamah senantiasa tabah, sabar, dan ikhlas atas segala iradah-Nya untuk meraih rida-Nya. Aamiin Ya Rabb.(tim)